Ketika Wakaf Mesti Produktif

Ketua MUI Kyai Muhammad Cholil Nafis. Foto: cholilnafis.com

[JAKARTA, MASJIDUNA] — Wakaf sejatinya menjadi instrumen dalam menyetarakan ekonomi. Karenanya, sifatnya pun mesti produktif. Sementara wakif pun teruus menyemai pahala  kendatipun sudah wafat. Sedangkan harta wakaf babkal memberi kesejahteraan bagi pemerimanya.


Demikian sekelumit pandangan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kyai Muhammad Cholil Nafis dalam webinar Program Satu Jam Belajar Zakat, Jumat (7/4/2023) pekan lalu. “Jadi wakaf untuk dimanfaatkan oleh yang hidup dan meninggal. Produktif secara ekonomi, tapi juga produktif pahala juga,” ujarnya. 

Dia menerangkan, tanah wakaf dalam tradisi fikih Syafi’i tidak boleh diganti atau ditukar. Berbeda dengan padangan mazhab Maliki yang memperbolehkan berwakaf untuk sesuatu yang habis. Maka, dalam mazhab Syafi’i, wakaf sering diasumsikan terbatas pada masjid, tanah untuk makam, dan pengadaan Al-Qur’an.

Baca juga:

Masyarakat muslim di Indonesia cenderung menganut mazhab Syafi’i. Namun, ketentuan wakaf sudah mulai diperluas. Menurt Kyai Nafis, dalam hal tertentu tanah wakaf boleh ditukar dan diganti. Seperti tanah wakaf, termasuk dalam Perencanaan Tata Ruang oleh pemerintah.

Mengacu UU No.41 Tahn 2004 tentang Wakaf, terdapat pengecualian. Pertama,  wakaf dapat ditukar ketika sudah tidak dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya. Seperti masjid yang sudah banyak. Kedua, tanah wakaf  masuk dalam Rencana Tata Ruang oleh pemerintah maka bisa dilakukan pergantian.

Nah, memang proses penukarannya mesti melalui berbagai prosedur. Seperti melalui rapat nazir, KUA, Kementerian Agama, kabupaten/kota, provinsi dan pusat, hingga rekomendasi dari Badan Wakaf Indonesia. Tapi Kyai Nafis mewanti-wanti, pergantian tanah wakaf bukan berarti boleh dijual. Tapi ditukar dengan hal yang senilai dan sesuai peruntukannya.

[AR/BimasIslam]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *