Bagaimana Hukumnya Shalat Jumat di Tangga Masjid?

Ilstrasasi. Foto:

[JAKARTA, MASJIDNA] — Semangat masyarakat menunaikan shalat Jumat berdampak terhadap ketersediaan lahan di masjid. Penuh dan tumpah jamaah ke jalan raya terkadang tak terhindarkan. Walhasil tak kekurangan akal, jamaah rela  mencari tempat dengan shalat di anak tangga masjid. Lantas bagaimana, apakah sah dari sudut pandang syariat?

Sedianya, sah shalat Jumat di tangga masjid, sepanjang pada tangga tersebut tidak ada najis dan dapat melaksanakan salat dengan sempurna. Semisal dapat melakukan rukun (sujud, duduk, dan berdiri) dengan sempurna. Dalam keadaan ini, maka salat Jumat tetap sah. Karena setiap penjuru di dunia ini adalah Masjid, Rasulullah Saw bersabda:


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ حَدَّثَنَا سَيَّارٌ هُوَ أَبُو الْحَكَمِ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ الْفَقِيرُ قَالَ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ

“Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sinan] berkata, telah menceritakan kepada kami [Husyaim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sayyarah] -yaitu Abu Al Hakam- berkata, telah menceritakan kepada kami [Yazid Al Faqir] berkata, telah menceritakan kepada kami [Jabir bin ‘Abdullah] berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun dari Nabi-Nabi sebelumku, aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sepanjang sebulan perjalanan, bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci, maka dimana saja seorang laki-laki dari ummatku mendapati waktu salat hendaklah ia salat. Dihalalkan harta rampasan untukku, para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia, dan aku diberikah (hak) syafa’at”. (HR. Imam Bukhari No. 419).

Baca juga:


Sedangkan Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Fathu Bari mengatakan, dengan mengutip pernyataan Al-Khattabi menjelaskan bahwa umat terdahulu pernah melakukan salat di geraja atau Sinagog. Ia berkata:


وَالْأَظْهَرُ مَا قَالَهُ الْخَطَّابِيُّ وَهُوَ أَنَّ مَنْ قَبْلَهُ إِنَّمَا أُبِيحَتْ لَهُمُ الصَّلَوَاتُ فِي أَمَاكِنَ مَخْصُوصَةٍ كَالْبِيَعِ وَالصَّوَامِعِ


”Umat terdahulu hanya bisa melaksanakan shalat di tempat-tempat yang telah disediakan seperti Gereja dan Sinagog”. (Fath Al-Bari, Juz 1, halaman. 427)


Tapi perlu diperhatikan, ketika salat di tempat yang tidak datar seperti tangga, maka dipastikan punggungnya lebih tinggi dari leher dan kepalanya. Pasalnya, orang yang salat di tangga bisa sah salatnya sepanjang punggungnya lebih tinggi dari leher dan kepalanya. Sedangkan jika leher dan kepalanya yang lebih tinggi dari punggungnya, maka salatnya tidak sah karena tidak dianggap sujud.


Ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Abul Mahasin Abdul Wahid ar-Ruyani dalam Bahrul Mazhab fi Furu’i Mazhabil Imam asy-Syafi’i:


لَوْ سَجَدَ عَلىَ مَوْضِعٍ عَالٍ، فَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ لاَ يَكُوْنُ ظَهْرُهُ أَعْلىَ مِنْ رَأْسِهِ وَرَقَبَتِهِ لَا يَجُوْزُ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى سُجُودًا، وَإِنْ كَانَ ظَهْرُهُ أَعْلَى مِنْ رَأْسِهِ وَرَقَبَتِهِ يَجُوْزُ. وَيُكْرَهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ


“Jika seseorang bersujud di atas tempat yang tinggi, maka jika bagian punggungnya tidak lebih tinggi dari pada kepala dan lehernya, sujudnya tidak sah karena tidak dapat disebut sujud. Namun, jika bagian punggungnya lebih tinggi dari pada kepala dan lehernya, sujudnya sah. Namun, itu akan dianggap makruh (dihindari) jika tidak ada alasan (keperluan) untuk melakukannya.”

Dengan demikian, hukum salat di tempat yang tidak datar seperti tangga, hukumnya sah. Tetapi ada yang perlu diperhatikan yakni orang yang salat di tempat ini perlu memperhatikan sujudnya agar kepala dan lehernya tidak lebih tinggi dari punggungnya, dan benar-benar dilakukan ketika dalam keadaan darurat, seperti banyaknya jamaah hingga berdesak-desakan.

[Redaksi/Tim Layanan Syariah Bimas Islam]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *