Foto: suaramuslim.net
Oleh: Istnan Hidayatullah (Dosen di Fakultas Ushuludin UIN Datokrama, Palu)
Di antara ibadah sunnah yang dianjurkan selama bulan Ramadan adalah Iktikaf. Nabi Muhammad tidak pernah melewatkan aktivitas ini, terutama di sepuluh malam terakhir. Dalam Kitab Sahih Bukhari, nomor hadis 985, disebutkan bahwa Nabi melakukan Iktikaf sepanjang hidup beliau. Setelah wafat, tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para istri beliau.
Perintah Iktikaf di bulan Ramadan secara tersirat ada dalam QS. 2:187. Dalam ayat tersebut, Iktikaf merupakan ibadah yang dikerjakan di masjid pada waktu tertentu yang tidak boleh diganggu oleh hal-hal lain, termasuk hubungan suami-istri.
Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam Kitab Fath al-Mu’in mendefiniskan Iktikaf sebagai: lubtsun fawqa qadri thuma’niati al-shalat walau mutaraddidan fi masjidin (berdiam diri di masjid atau area masjid dalam rentang waktu melebihi aktivitas salat).
Dalam proses berdiam diri, seseorang yang beriktikaf (mu’takif) memusatkan hati dan pikiran hanya semata untuk Allah Swt. Pada saat yang sama, ia dianjurkan untuk memperbanyak salat sunah, membaca al-Qur’an, berzikir, dan bersalawat. Selama itu pula, ia harus benar-benar meninggalkan segala perkara maksiat dan dosa. Bahkan, aktivitas yang berhubungan dengan keduniaan pun dihindari.
Singkat kata, selama beriktikaf orientasi amal hanya untuk langit atau mengharapkan ridha Allah SWT. Lantas, apakah tidak ada nilai-nilai lain dari iktikaf selain ta’abbudiyyah (penghambaan) kepada Allah?
Meskipun berorientasi ke langit, destinasi manfaat dari Iktikaf, sejatinya, berpulang pada pelaku dan lingkungannya. Begini penjelasannya.
Ketika beriktikaf atau berdiam diri, pada dasarnya, seseorang sedang menyempurnakan proses hibermasi selama bulan Ramadan. Hibermasi, yang juga kerap dialami oleh hewan dan tumbuhan, adalah proses menonaktifkan beberapa fungsi organ dalam tubuh. Hibermasi diperlukan untuk, semisal, melakukan adaptasi atas perubahan lingkungan atau juga untuk meningkatkan produktivitas.
Iktikaf bernilai hibermasi terutama pada aspek ruhiah. Dalam Iktikaf, secara tidak langsung, hati dan ruh diistirahatkan dari aneka kesibukan duniawi atau materi. Manusia perlu mengambil jarak sejenak dengan dunia materi untuk menemukan koordinat keseimbangan baru. Sehingga dari situ ia kemudian memiliki kekuatan untuk menghadapi problematika kehidupan yang silih berganti ditemui.
Hati, kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib, serupa tubuh. Ia acapkali kelelahan menjalani kehidupan bersama pemiliknya. Untuk itu, hati perlu diistirahatkan agar tidak rusak. Selain itu, perlu juga diberikan nutrisi berupa hikmah (rawwihu al-quluba wa uthlubu laha tharfa al-hikmah, fainnaha tamallu kama tamallu al-abdan).
Jika dirunut ke belakang, tradisi Iktikaf sudah dikerjakan Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul. Ketika itu, aktivitas Iktikaf lebih familiar dengan sebutan tahannuts (kontemplasi) Nabi seringkali melakukan tahannuts, terutama ketika menghadapi masalah pelik. Aktivitas ini dilakukan Nabi di tempat sepi, seperti di gua.
Banyak kejadian ruhani yang dialami Nabi Muhammad selama tahannuts. Satu di antaranya yang masyhur adalah ketika ia menerima al-Qur’an pertama kali dari Malaikat Jibril, yang juga menjadi penanda kerasulannya. Seperti mafhum bersama, al-Qur’an yang diturunkan pada saat tahannuts tersebut terbukti ampuh menyelesaikan banyak masalah besar yang dihadapi manusia dalam lintas ruang dan waktu.
Dari sini cukup dijadikan ibrah bahwa Iktikaf yang hampir sebangun dengan tahannuts tersebut memang akan menghadirkan dampak positif bagi pelaku. Melalui Iktikaf, seseorang boleh jadi akan menerima panduan ruhiah secara langsung dari Allah sehingga ia kemudian dimampukan untuk menyelesaikan aneka masalah yang dihadapi. Wahhahu a’lam.
[RAN]