Masjid Sayidul Bilal dan Kegigihan TKI di Korsel

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Masjid  Sayidul Bilal di kawasan Changwon, Gyeongsangnam , Korea Selatan itu, itu merupakan saksi kegigihan para pekerja migran Indonesia (dulu disebut TKI) yang bekerja di Korea Selatan. Mereka bahu-membahu, menyumbang tenaga dan dana untuk mewujudkan tempat ibadah kebanggaan warga Indonesia di luar negeri. Masjid itu asalnya bangunan dua lantai yang tidak terpakai dan dikemudian dibeli.

Dengan menghabiskan dana sampai 10 miliyar, masjid ini berhasil diresmikan pada 2 Pebruari 2011 oleh Duta Besar Indonesia di Korea Selatan Nicholas Tandidamen.  Ini merupakan prestasi yang layak dibanggakan, sebab selain menjadi pekerja dia dan para pekerja lainnya juga bisa memberi warna pada masyarakat Korea Selatan di sana.

Adalah Endang Asrori, salah seorang yang punya peran dalam mewujudkan masjid tersebut. Dia seperti pekerja migran lain, menghabiskan harinya dengan bekerja di pabrik. Namun, di sela-sela sebagai pekerja pabrik Endang selalu menyempatkan diri berkumpul dengan komunitas muslim di sana, sehingag terpilih menjadi ketua Komunitas Muslimin Indonesia (KMI), yang anggotanya bukan hanya para pekerja tapi ada juga sebagian mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di sana.

Mendapatkan amanah sebagai ketua organisasi  sementara dia juga adalah pekerja yang harus disiplin pada pekerjaan membuatnya harus membuat manajemen waktu yang baik.  Endang harus membuat siasat agar semuanya berjalan dengan efektif tanpa ada yang dirugikan. Siasat yang dia kerjakan juga bukan untuk mengakali peraturan, tapi membuat bekerja menjadi efektif.  “ Kalau ada  rapat soal organisasi siang, saya   akan bangun dan sudah bekerja pada pukul 4 pagi. Jauh lebih pagi dibandingkan dengan pegawai lainnya,” kata Endang.  Dengan menyiasati waktu seperti ini, maka pada pukul 8 pagi sebagian pekerjaan sudah bisa diselesaikan, hanya tinggal mengemas saja sebelum barang  dikirimkan.  Itu artinya dia jadi punya waktu luang untuk kegiatan pada siang hari.

Rupanya, sikap dan cara kerja Endang disenangi oleh sang majikan. Sebab, selain pekerjaan selalu selesai tepat waktu, juga bisa mengorganisasikan kegiatan keagamaan.

Bukan hanya majikan yang menyenanginya, bahkan aparat kepolisian  dan aparat intelijen setempat  juga menaruh hormat pada lelaki asal Purwakarta, Jawa Barat ini. Sebab, setelah masjid berdiri, angka kriminalitas di sekitar lingkungan masjid menurun drastis sampai zero.  “Sebelumnya banyak terjadi aksi keributan dan perkelahian antar sesama pekerja migran asal Indonesia,” kata Endang. Tapi setelah masjid berdiri, kriminalitas itu turun drastis.   

Endang kini sudah menjadi pengusaha di daerah kelahirannya. Dia mendirikan Yayasan Sahabat ABA Indonesia (SAI) yang bergerak di bidang pendidikan  ibtidaiyah dan rumah tahfidz.  Yayasan ini merupakan bentuk kepeduliannya kepada pendidikan anak-anak usia sekolah.

Bagi Endang, semua pengalaman hidup yang selama ini jalani membentuk motto atau prinsip dalam hidupnya yaitu, jadikanlah bermanfaat hidup yang hanya sekali ini. Hidup yang sekali dan sebentar ini menjadi sia-sia bila tak diisi oleh hal-hal yang bermanfaat.

(IMF/foto:endang asrori)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *