(21) Ramadan di Sydney: Tarawih Tanpa Masjid

LAPORAN: Dr. Izza Rohman, M.A. (Dosen Universitas Prof. Dr. Hamka/UHAMKA, Pemerhati Sosial Keagamaan)

[ROSELANDS, SYDNEY, MASJIDUNA] – Pengembangan dakwah dan pembangunan masjid di Sydney bukanlah cerita yang penuh peluang dan kemudahan, tapi juga diwarnai tantangan dan kerumitan. Di antara tantangannya adalah regulasi atau hukum yang berlaku di Australia. Pembatasan (restriksi) tidak jarang harus dihadapi oleh pengelola masjid.

Yang seperti itu terjadi misalnya pada Masjid Roselands, yang sekian lama harus mematuhi restriksi. Pembatasan diberlakukan umumnya karena adanya keluhan, aduan, laporan, atau petisi yang diajukan (sering kali secara terorganisir) oleh masyarakat ke dewan kota (council), misalnya soal keberisikan (noise), isu lalu lintas (traffic), dan dugaan pelanggaran terkait kapasitas masjid atau jam operasi masjid. Apakah ada fobia terhadap Islam di sini? Jawabannya perlu penelitian yang lebih mendalam. Kelompok warga yang menyoal selalu menggunakan bahasa kepentingan publik dan ketertiban umum.

Sebenarnya Roselands sendiri adalah suburb dengan populasi muslim yang terus tumbuh. Dari hanya 11,4% di 2001, menjadi 13,5% di 2006, lalu 17,1% di 2011, 18,7% di 2016, dan 22,7% di 2021. Dengan populasi sebanyak itu, Islam berkembang dari agama terbesar keempat pada 2001, terbesar ketiga di 2006, terbesar kedua di 2011, dan akhirnya menjadi agama terbesar di Roselands pada 2021. Persentase populasi muslimnya relatif sama dengan kota-administratifnya: City of Canterbury Bankstown, yang memiliki 23,5% warga muslim.

Menurut sumber berita tertulis, lokasi Masjid Roselands sendiri dibeli pada tahun 2007, dengan dukungan finansial awal dari dua bintang olahraga Australia. Semula adalah sebuah aula gereja diaspora Asia Timur dengan izin operasional sebagai childcare centre dan tempat ibadah setiap hari minggu. Letaknya di kawasan residensial yang menuntut ketenangan. Warga tidak ingin lingkungan mereka terasa seramai bandara. Itu dalih mereka.

Pada masanya regulasi mengharuskan Masjid Roselands hanya beroperasi tiga hari dalam sepekan. Kemudian bisa diperpanjang menjadi tujuh hari (dengan masa percobaan enam bulan pada 2015), tapi itu pun tetap dengan jam operasional yang terbatas: antara jam 12 siang sampai 7:30 malam, dengan jumlah jamaahnya maksimal 60 orang saja. Dengan begitu, di masjid ini tidak ada jamaah shalat subuh dan hampir selalu tidak ada jamaah shalat isya. Itu masih berlaku hingga saat ini.

Ramadan ini, tarawih pun tidak bisa diselenggarakan di masjid kecil ini karena tidak mendapat persetujuan dari pemerintah kota setempat. Sehingga, sebagai gantinya, tahun ini pengurus masjid mengadakan tarawih di tiga lokasi sekaligus: pertama di McCallums Hill Public School, satu kilometer dari Roselands Mosque, kedua di Arkana College, sejarak lima kilometer, dan ketiga Blakehurst High School, sejauh tujuh kilo.

Saat mengikuti tarawih di aula McCallums Hill Public School, saya dapati jamaah yang bergabung sangat banyak. Kali itu adalah malam ke-28 sesuai pengumuman Masjid Roselands. Masjid ini mendasarkan awal Ramadan pada hasil rukyat hilal lokal/regional yang dilaporkan oleh jejaring Masjid Roselands sendiri. Sekalipun menggunakan rukyat hilal, mereka tampaknya tidak merujuk Moonsighting Australia. Dan sekalipun masjid ini dinaungi oleh Lebanese Muslim Association, mereka tidak pula merujuk majelis fatwanya LMA.

Waktu isya berjamaahnya, sebagaimana di berbagai tempat lain di Sydney, sudah ditetapkan jamnya. Jam 7:30pm Waktu Standar Timur Australia (AEST) — sebelumnya 8:30pm Waktu Musim Panas Australia (di awal Ramadan 8:45). Jam 7:20 dikumandangkan azan, lalu sepuluh menit kemudian dilangsungkan shalat isya berjamaah selama sepuluh menit. Imam membacakan sepuluh ayat terakhir surah an-Naba’ di rakaat pertama, dan tiga belas ayat terakhir surah an-Nazi’at di rakaat kedua.

Usai isya, ada jeda lima menit untuk zikir dan shalat sunah. Kemudian shalat tarawih pun dilaksanakan tanpa aba-aba khusus. Dilangsungkan dalam 8 rakaat dengan salam tiap dua rakaat. Masing-masing dua rakaatnya selesai dalam lima menit. Dengan suara dan irama yang bagus, imam membacakan surah at-Takwir, al-Infithar, al-Buruj, dan ath-Thariq. Masing-masing surah untuk dua rakaat. Alhasil, sekalipun dilakukan tidak dengan buru-buru, tarawih pun rampung dalam 20 menit.

Usai tarawih langsung witir tiga rakaat dengan sekali salam tanpa tahiyat awal. Imam membacakan surah al-A’la di rakaat pertama, al-Kafirun di rakaat kedua, dan al-Ikhlash di rakaat ketiga. Di rakaat ketiga, ada qunut jahar yang sangat panjang saat berdiri iktidal dengan menadahkan tangan. Diselipkan juga doa-doa untuk muslim Palestina, di antaranya: Allahummanshur ikhwananal-mustadh’afina fi filisthin, Allahummanshur ikhwananal-mustadh’afina fi ghazzah. Karena itulah witirnya berlangsung 15 menit.
Jam 8:20 selesailah shalat witir. Jamaah langsung bubar. Cukup satu jam dari azan isya sampai selesai witir. Tak ada ceramah malam itu. Tak ada pula iringan zikir, shalawat, tilawah, ataupun doa yang dikumandangkan di luar shalat. Tak ada pula jeda lama antar shalat. Tarawihnya bisa dibilang efisien. Itu mungkin karena tradisi takmirnya memang begitu. Bisa pula karena yang seperti itu lebih meminimalisir kemungkinan adanya komplain warga sekitar atas keramaian yang menimbulkan noise yang dirasa mengganggu lingkungan hunian.

Pasalnya, orang Australia dikenal suka komplain — kata orang Australia sendiri. Tapi juga bukan sembarang komplain: mereka harus mengacu regulasi. Di sini setiap adanya kemungkinan gangguan akibat proyek pembangunan sekolah pun harus disampaikan notifikasinya ke warga terlebih dahulu: kapan waktunya, apa yang dilakukan, dsb. Untuk proyek besar seperti renovasi sekolah, notifikasinya bisa berkali-kali mengikuti perkembangan proses upgrade. Bahkan untuk bongkaran dua meter jalur pejalan kaki (pathway) pun, perlu ada notifikasi ke warga sekitarnya.

Yang seperti itu membuat dakwah di Australia perlu juga selalu memperhatikan aturan-aturan yang berlaku. Tidak bisa asal digelar. Masih ada untungnya: sekalipun ada masjid tanpa tarawih, tarawih tanpa masjid pun jadi. Satu masjid dibatasi jam operasinya, tiga tempat publik bisa diakses untuk shalat berjamaah. Walhasil, Islam tetap shalihun likulli zaman wa makan: Islam terus selaras dengan tiap waktu dan tempat. [RAN/Foto: DokPri]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *