Perhitungan tahun berdasarkan peredaran rembulan (sumber: kemenag)
[JAKARTA, MASJIDUNA]– Tahun Islam berdasarkan perhitungan peredaran rembulan (tahun komariah), yang dinamakan tahun hijriyah. Ternyata ada hikmah yang jarang diketahui mengapa hal itu diberlakukan. Almarhum cendekiawan muslim Nurcholis Madjid, dalam satu catatan kecilnya dalam buku “Pintu-Pintu Menuju Tuhan” (Penerbit Paramadina, 1995) mengulas bahwa gejala alam berdasarkan siklus rembulan dari mulai sabit hingga purnama sejajar dengan nama syahr dalam bahasa Arab yang artinya “nampak” atau “penampakan” (ingat kata-kata Arab Masyhur yang artinya “yang nampak” atau “yang terkenal”), karena penghitungan siklusnya dimulai dari nampaknya bulan sabit atau “hilal” dengan sebelas hari lebih pendek dari perhitungan tahun matahari.
Baca Juga: Mengenang Nurcholis Madjid (17 Maret 1939- 29 Agustus 2005)
Tapi apa hikmah menggunakan kalender berdasarkan siklus rembulan ini? Peredaran rembulan memang tidak cocok dengan peredaran musim seperti hujan dan kemarau. Sebab musim itu beredar berdasarkan peredaran matahari, bukan rembulan. Karena itu, kalender rembulan tidak cocok untuk pertanian misalnya. Namun, seperti disebutkan dalam Al-quran surat Al Baqarah ayat 189, siklus rembulan ditakdirkan sebagai penentu manusia beribadah seperti puasa dan haji.
Jadi, peredara bulan dirancang untuk waktu manusia beribadah bukan kegiatan praktis duniawi seperti pertanian. Disinilah letak hikmahnya. Sebab dengan mengikuti perhitunga kalender hijriyah, maka ibadah seperti puasa dan haji, misalnya, akan terjadi dan beredar di seluruh musim yang terjadi. Puasa dan haji akan terjadi di musim hujan, musim kemarau, musim semi, dan musim salju. Pada suatu waktu puasa terjadi di musim panas, namun di tahun lain akan terjadi di musim hujan. Ini terkait erat dengan desain Islam sebagai agama untuk seluruh umat manusia, di mana pun letaknya dan apapun musim yang dialaminya.
Baca Juga: Bagaimana Hukumnya Minum Pil Penunda Haid Supaya Puasa Full
Bandingkan misalnya, kalau puasa hanya terjadi dalam bulan Desember saja (berdasarkan perhitungan matahari), maka hanya ada satu musim saja yang dialami oleh oleh orang berpuasa yaitu musim hujan atau salju. Hal ini juga akan tidak adil bagi Muslim yang tinggal di belahan bumi utara, sebab akan berpuasa di musim dingin dengan durasi pendek. Sementara muslim yang tinggal di belahan bagian selatan akan puasa di musim panas dan panjang.
Namun dengan digunakannya kalender rembulan sebagai patokan dalam beribadah, maka semua orang di berbagai belahan dunia manapun, akan pernah merasakan puasa dalam berbagai musim.
(IMF/sumber: Pintu-Pintu Menuju Tuhan)