Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Istnan Hidayatullah (Pengajar Filsafat Islam di Fakultas Ushuludin UIN Datokrama, Palu)
PADA penghujung Ramadan, ada satu lagi ibadah yang wajib dikerjakan umat Islam, yaitu zakat fitrah. Setiap jiwa yang pernah menjalani kehidupan di bulan Ramadan wajib mengeluarkan atau dikeluarkan zakatnya. Tak terkecuali seorang bayi yang lahir sesaat menjelang bulan syawal, tetap wajib dibayar zakatnya.
Secara teoritik, zakat fitrah tersebut sudah dimafhumi umat Islam. Berapa dan bagaimana pendistribusiannya tak ada yang luput dari pengetahuan mereka. Bagian yang tak banyak diketahui atau, sekurang-kurangnya, jarang dibahas adalah mengapa ibadah ini wajib dikerjakan? Apa tujuan (maqashid) di balik perintah zakat?
Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam kitab “Min Washaya al-Qur’an al-Karim” menguraikan dimensi esoterik zakat sebagaimana tersirat dalam QS. 2:43, yang berbunyi: “Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”
Dalam ayat tersebut, zakat diposisikan sejajar dengan salat dan rukuk. Pemosisian ini tentu memiliki maksud.
Salat, kata Sya’rawi, adalah bentuk kehadiran seorang hamba di hadapan Allah. Setiap kali ditunaikan, setiap itu pula ia mengikrarkan diri sebagai hambaNya. Ketika seorang hamba berikrar, maka wajib baginya memusnahkan kerikil-kerikil keangkuhan yang bersemayam di relung hatinya (La budda an yazula kulla ma fi nafsihi min kibriya’in). Sebagai gantinya, ia kemudian larut dalam kerendahan hati, ketundukan, dan kehinaan yang penuh di hadapan Allah.
Baca juga: Iktikaf: Orientasi ke Langit, Aktualisasi ke Bumi
Pribadi yang angkuh tak akan sanggup menangkap kebesaran Allah. Pribadi seperti ini bukan termasuk dalam kategori beriman, meskipun lisannya tak henti berucap tentang keimanan kepada Allah.
Bertolak dari deskripsi tersebut, maka zakat adalah simbol keruntuhan sikap angkuh di hadapan Allah dan serta-merta juga tanda bahwa pelakunya beriman secara totralitas. Sebaliknya, yang enggan berzakat termasuk kategori tidak beriman. Sehingga wajar pada masa pemerintahan Abu Bakar al-Shiddiq ra termasuk kelompok yang diperangi. Pembangkang zakat diposisikan sama dengan orang murtad (ahl al-riddah).
Selanjutnya, Syaikh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi al-Dimasyqi dalam Kitab “Maw’izah al-Mu’minin Min Ihya al-Ulum al-Din” menyebutkan tiga hal sebagai dimensi esoterik dari zakat.
Pertama, sebagai ekstensi (perpanjangan) dari tauhid. Ketika seseorang melafaz kalimat syahadat, maka ia telah mengafirmasi bahwa tidak ada yang disembah selain Allah. Pengakuan ini semakna dengan ketiadaan sesuatu yang penting dan layak dicintai melebihi Allah.
Orang yang ringan menyisihkan sebagian harta yang dimiliki untuk zakat menunjukkan sikap bahwa yang penting dalam hidupnya hanya Allah. Tidak ada ruang di pelataran hatinya selain Allah. Tidak juga harta, jabatan, dan apapun dari dunia yang menyilaukan ini.
Kedua, membersihkan diri dari sifat kikir yang notabene merupakan perkara yang merusak hati (al-muhlikat). Seseorang yang berzakat, sejatinya, ia telah memperlihatkan perlawanannya atas kecenderungan sifat kikir yang lazim bersemayam pada diri manusia. Kelak, seberapa berhasil sifat kikir itu dilawan berbanding lulus dengan nilai pengorbanan dan kebahagiaan yang dirasakan saat berzakat. Semakin ringan dan bahagia seseorang dalam memberi atau mengeluarkan zakat, maka semakin tipis juga sifat kikir dalam dirinya.
Orang yang mampu keluar dari lingkaran kekikiran termasuk kelompok yang beruntung, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hasyr: 9, yang berbunyi: “Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung.”
Ketiga, sebagai bukti kesyukuran atas nikmat Allah. Manusia bisa menjalani kehidupan di dunia semata karena nikmat-nikmat yang berasal dari Allah. Nikmat tersebut seyogianya disyukuri.
Karena nikmat Allah terdiri atas berbagai bentuk, maka cara bersyukur pun tak sama pada masing-masing nikmat tersebut. Nikmat Kesehatan badan harus disyukuri dengan aktivitas ibadah. Begitu pula dengan nikmat harta harus disyukuri dengan cara berzakat dan bersedekah.
Dengan penjelasan dimensi esoterik di atas cukup kuat alasan bahwa zakat merupakan ibadah yang nilai manfaatnya sebagian besar berpulang pada subyek (muzakki). Adapun obyek penerima zakat (mustahiq al-zakah) tidak mendapatkan privilese sebagaimana subyek. Ia hanya merasakan manfaat material dari zakat. Kalau pun ada yang lain, ia hanya bisa menangkap bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang penuh dengan nilai-nilai altruisme. Zakat adalah sedikit bukti bahwa menjadi seorang muslim ternyata harus berbagi, tidak boleh egois (wa ba’da zalika ta’ti al-zakah lianna al-‘abda al-mu’mina la budda an yuwajjiha harkata hayatihi ila ‘amalin nafi’in yattasi’u lahu wa liman la yaqdiru ‘ala al-harakati fi al-hayati).
[RAN]
2 thoughts on “Dimensi Esoterik Zakat”