JAKARTA, MASJIDUNA— Hari ini, 17 September 82 tahun silam, cendekiawan muslim Nurcholis Madjid dilahirkan di Jombang, Jawa Timur. Tepatnya pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid adalah seorang guru dan pendukung Masyumi. Sementara ibunya, Fatonah, putri Kiai Abdullah Sadjad dari Kediri.
Nurcholis Madjid adalah salah satu cendekiawan Muslim yang dimiliki Indonesia, dengan segudang karya yang sampai saat ini masih dijadikan rujukan. Bukan hanya gagasan dan pemikiran yang tersebar dalam berbagai buku, tapi juga lembaga pendidikan dan yayasan, seperti Yayasan Paramadina dan Universitas Paramadina.
Cak Nur, demikian sapaanya, mengikuti jejak kedua orang tuanya mendisiplinkan diri di dunia pesantren. Lulus dari Pesantren Gontor, Ponorogo, ayah dua anak ini melanjutkan pendidikan ke IAIN (sekarang UIN) Jakarta ini.
Dari IAIN dia bertolak ke Universitas Chicago, AS dan menyelesaikan studi doktornya pada 1984 dengan judul disertasi ” Ibn Taymiyya on Kalam and Falasifa”.
Kekuatan pada studi kitab klasik Islam dan modern, membuatnya mampu menampilkan gagasan dan pemikiran Islam yang berpijak pada sumber otentik sekaligus diterima berbagai kalangan.
Baca Juga: Dzaki Sukarno, Remaja Indonesia yang Dapat Golden Ticket di American Idol
Kiprahnya di bidang organisasi memperlihatkan kapasitas dirinya. Di Indonesi dia adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 1966-1971, yang pengaruhnya dalam pemikiran sampai sekarang belum tertandingi. Di masa menjadi Ketua HMI inilah, dia memiliki jargon yang sangat terkenal sampai sekarang, “Islam Yes, Partai Islam No”.
Cak Nur juga pernah menjabat sebagai Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara dan Wakil Sekjen International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO).
Sebagai cendekiawan, Cak Nur banyak menulis buku, karya ilmiah dan pidato mengenai peradaban dan pendidikan di Indonesia.
Salah satu bukunya yang menjelaskan Indonesia dengan konsep kebhinekaan adalah “Indonesia Kita” (diterbitkan oleh Gramedia bekerjasama dengan Universitas Paramadina), yang menuliskan asal usul Indonesia hingga politik mutakhir.
Baca Juga: Mahfud MD: Jika Negara Takluk pada yang Kuat, Harmoni Kebhinekaan Akan Rusak
Saat Indonesia dilanda krisis moneter 1998, cak Nur bersama sejumlah tokoh diundang oleh Presiden Soeharto. Cak Nur termasuk salah satu yang menyarankan agar Soeharto mundur guna menghentikan aksi kerusuhan.
Dan setelah Soeharto lengser, Cak Nur meminta agar masyarakat Indonesia juga harus mampu melihat jasa-jasa presiden kedua itu. Dalam sebuah seminar, Guru Besar IAIN Jakarta ini mengatakan bahwa dalam hal tertentu Soeharto punya jasa terhadap umat Islam.
Setidaknya, selama Soeharto berkuasa, ribuan masjid (Masjid Amal Bakti Muslim Pancasila) didirikan di seluruh pelosok Indonesia. Soeharto juga memberikan ruang kepada kaum santri melalui pemberian pendidikan yang murah kepada seluruh lapisan rakyat.
Soeharto dalam pandangan Cak Nur, juga ada kemiripan dengan kisah Sunan Kalijaga. “Dan ini dicontohkan oleh sejarah hidup Sunan Kalijaga, yang di masa muda berandalan jadi perampok dan tukang begal, tapi di masa tua dia menjadi wali yang sangat dihormati,” kata Cak Nur kala itu.
Dalam dunia politik Cak Nur pernah ikut dalam konvensi Partai Golkar untuk mencari calon presiden tahun 2003. Namu, belum usai konvensi dia mundur dengan alasan etika.
“Ini masalah etika. Kalau toh saya menang oleh teman-teman itu, saya menang dalam satu kerangka etika yang tidak benar. Itu yang menjadi keberatan saya,” kata Cak Nur.
Setahun setelah itu, kesehatan Cak Nur terganggu sampai pernah menjalani operasi cangkok hati di Singapura.
Kesehatannya makin menurun setelah hati yang dicangkokkan pada Anggota Komnas HAM, 1993-2005, itu mengalami gangguan.
Akhirnya, penerima Bintang Mahaputra (1998) ini meninggal pada 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun. Cak Nur dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan pada Selasa 30 Agustus 2005, pukul 10.00 WIB.
(IMF/foto:kompasiana.com)