Oleh: Dr. Izza Rohman, M.A. (Dosen Universitas Prof. Dr. Hamka/UHAMKA, Jakarta)
MANUSIA tak luput dari salah. Salahnya bisa berkali-kali, dan bisa sangat besar sekali. Salah yang kecil, bahkan kadang dirasa sangat besar oleh pelakunya sendiri. Manusia sangat membutuhkan Tuhan yang bersifat penyayang, yang dapat memberinya keringanan, kesempatan, dan kemudahan, lalu juga memberikan ampunan. Manusia berharap agar salah mereka tidak segera berakibat hukuman, dan tidak pula sampai membuat mereka termusnahkan.
Beruntung manusia, sebelas kali ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa Allah adalah al-Halim. Misalnya di akhir surah al-Baqarah ayat 235: Wa’lamu annallah ghafurun halim. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengampuni Maha Menyayangi.
Allah Mahatenang. Dia tidak terganggu walaupun manusia berbuat salah selalu. Dia tidak marah walaupun para pendosa terus berulah. Dia tetap menunggu walaupun manusia tak kunjung sadar dan malu. Dia memberi kesempatan panjang bagi manusia yang berbuat kesyirikan, kemaksiatan, dan kemungkaran, sampai saat peringatan Dia berikan, atau sampai saat hukuman keras Dia berlakukan.
Allah Mahasabar. Dia sangat sabar dalam menunggu hamba-Nya sadar. Dia kuasa menyegerakan hukuman dan siksa, namun Dia memberi peluang hamba-Nya untuk menyadari kesalahan dan memohon ampunan. Sekiranya Allah segera membalas kezaliman manusia dengan siksa, tentulah tak ada lagi di bumi makhluk yang tersisa. Dia menangguhkan hukuman, membiarkan manusia tetap hidup, dan memberikan siksa pada saat yang Dia kehendaki bagi siapa saja yang tak kunjung sadar diri: atas maksiat yang dilakui, juga atas kesempatan bertobat yang dilalui.
Allah Mahasayang. Karena sayang-Nya, Dia menahan diri dari menghukum orang yang berdosa. Dia menunggu dan memberi kesempatan kepada insan yang khilaf untuk insaf dan meminta maaf. Allah sangat toleran dengan kemaksiatan insan, dan sangat sabar menanti mereka sadar. Dia terus memberikan rezeki sekalipun manusia benar-benar tak tahu diri. Saat hamba menyesali dan memohon ampun, Allah pun menerima tobatnya dan tidak menghukum.
Manusia yang menghayati kedudukannya sebagai hamba al-Halim, akan tumbuh menjadi pribadi yang tenang, santun dan pemaaf. Ia tidak mudah marah saat orang berbuat khilaf, tidak pula gampang berang saat orang menyerang, dan bersabar saat diperlakukan tidak adil. Ia yakin akan menang saat dirinya selalu tenang.
“Ya Ghafur ya Halim, ampunilah kami, sayangilah kami. Jauhkanlah kami dari kesalahan, jauhkanlah kami dari kesusahan. Berilah kami kesadaran dan kesabaran, ketenangan dan kemenangan.” [RAN]