Mudik Kepada Kesadaran Filantropis

Oleh Istnan Hidayatullah (Dosen Akidah dan Filsafat Islam UIN Datokarama Palu)

TANAH rantau, pada umumnya, dihayati sebagai rumah kedua bagi setiap orang. Sementara rumah pertama tetap adalah tanah kelahiran, kampung halaman. Tanah kelahiran acapkali menjejakkan memorabilia yang kuat. Karena itu, ia selalu dirindukan untuk dikunjungi, dengan tujuan sederhana: membasuh hasrat bernostalgia walau hanya sesaat. Hasrat ini tentu sangat manusiawi. Jangankan manusia, bahkan menurut Jalaluddin Rumi, suara seruling yang ditiup, sejatinya, juga merupakan jerit tangis sepotong bambu yang merindukan rumpun di mana ia berasal. 

Kerinduan pada kampung halaman melahirkan tradisi mudik. Konon kata mudik berkaitan dengan “udik” yang berarti desa atau kampung. Jadi mudik dimaknai sebagai mengunjungi desa asal.

Mudik, sedianya, tidak berhubungan dengan lebaran. Namun faktanya, pada masa lebaran terjadi mobilisasi dari kota ke desa yang cukup besar. Pada tahun ini saja, seturut rilis Kementrian Perhubungan, angka pemudik mencapai 193,6 juta orang atau 71,7% dari jumlah penduduk Indonesia. Angka ini tentu cukup besar dan berefek pada banyak hal. Di antaranya pada sektor ekonomi. Menurut prediksi Kadin, efek mudik tahun ini akan mengakibatkan perputaran ekonomi yang mencapai 153 triliun. Uang ini akan mengalir ke berbagai bagian, seperti transportasi, destinasi wisata, makanan, dan yang lain. Jika diurut alurnya, paling banyak akan menyerap ke kantong para pemilik modal. Hanya sedikit saja yang menyentuh kalangan yang bermodal kecil. Dengan demikian, efek ekonomi mudik yang sangat besar itu tidak menyentuh kaum papa.

Terlebih, prosesi mudik sendiri sekarang sudah bergeser maknanya. Dari yang pada awalnya murni silaturrahmi menjadi ajang flexing, pamer kesuksesan. Naluri flexing tersebut akan memandu para pemudik untuk berperilaku konsumerian pada komoditi-komoditi yang memiliki makna simbolik tertentu, terutama yang melahirkan decak kagum orang yang melihatnya di kampung. Komoditas-komoditas semacam itu sudah pasti tidak disuplai para pedagang kelas teri. Melainkan pedagang yang bermodal besar. Sehingga tidak salah bila ada yang menyebut mudik lebih menguntungkan kelas borjuis.

Andaikata peredaran uang yang cukup besar itu mengalir kepada kelompok ekonomi lemah, niscaya akan menghasilkan maslahat yang sangat berarti. Kelompok ekonomi lemah ini secara tidak langsung didongkrak taraf hidupnya karena dihidupkan denyut ekonominya. Mudik, nantinya, bukan lagi hanya untuk memenuhi aspek kebutuhan eksistensial, seperti perasaan ingin diakui sukses di tanah rantau. Melainkan bermakna sebagai ajang membantu saudara di kampung.

Untuk mencapai keadaan seperti di atas, tentu saja diperlukan dekonstruksi kesadaran para pemudik. Para pemudik perlu diubah paradigmanya, bahwa mereka mudik karena tarikan cinta dari kampung halaman. Sebab itu, seyogiyanya, ia berkomitmen untuk sebanyak-banyaknya berbagi kepada orang-orang kampung.

Istilah berbagi di sini memiliki dua konteks. Pertama, berbagi berarti membelanjakan uang pada area usaha dan niaga yang dikelola para pemodal kecil, kelompok rentan, dan termarjinal. Dalam hal ini, misalnya, urusan belanja kebutuhan selama mudik lebih memprioritaskan di kios, toko, dan penjual kecil daripada gerai-gerai toko franchise ternama yang banyak tersebar di pinggir jalan. Berapa pun nilai uang yang dibelanjakan di toko-toko kecil tersebut akan sangat berarti untuk menggerakkan roda usaha mikro.

Kedua, berbagi dalam pengertian harfiah. Yakni menyerahkan sebagian uang atau barang yang dimiliki kepada orang-orang yang membutuhkan (kaum duafa dan mustad’afin) tanpa syarat. Berbagi jenis ini lebih pada aksi kedermawanan atau filantropis. 

Para pemudik perlu menganggarkan bagian ini secara jelas dengan besaran angka yang lebih banyak ketimbang pengeluaran yang bersifat konsumtif (non kebutuhan pokok). Eksistensi bulan Ramadan sebagai bulan berbagi bisa menjadi motivasi untuk melakukan aksi ini. Bahkan semua distribusi harta yang wajib seperti zakat, fidyah, kafarat, nazar, dan yang lain disalurkan di kampung halaman dengan sasaran keluarga, tetangga, dan teman sekampung yang terkategori sebagai mustahiq. 

Dengan demikian, orientasi mudik bukan semata bernostalgia dengan masa lalu apalagi ajang pamer (flexing). Melainkan sebagai aksi filantropis yang bersifat individual, tanpa melibatkan lembaga apa pun. Mudik seperti ini akan sangat bermakna bagi si pemudik sendiri dan orang-orang di sekitar. [RAN]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *