Ramadan Bersama Asmaul Husna (13)

Foto: similarpng.com

AL-QĀDIR

Oleh: Dr. Izza Rahman, M.A. (Dosen di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka/UHAMKA Jakarta)

Qul huwal-qadiru ‘ala an yab‘atsa ‘alaykum ‘adzaban min fawqikum aw min tahti arjulikum aw yalbisakum syiya’an wa yudziqa ba’dhakum ba’sa ba’dh. Katakanlah, “Dialah Yang Mahakuasa untuk mengirim azab kepadamu dari atas atau dari bawah kakimu atau memecah belahmu menjadi golongan-golongan dan menimpakan kepada sebagianmu keganasan sebagian yang lain.”

Manusia tak jarang mau berbuat seenaknya dan lepas kendali. Manusia memerlukan Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Berkehendak, yang mampu memberi ancaman dan membuktikan ancaman, sehingga manusia terbantu untuk mengendalikan diri, dan memiliki harapan saat orang lain menzalimi.

Alllah Mahasanggup. Dia memiliki kuasa atau kemampuan yang sempurna. Hakikatnya Dia saja yang dapat disebut sebagai Yang Kuasa secara mutlak. Kuasa Allah tidak bergantung kepada kemampuan atau dukungan dari selain-Nya. Kuasa atau kemampuan selain-Nya bergantung pada pemberian-Nya. Kuasa selain-Nya bersifat sementara, perlu upaya, dan terbatas dimensinya, sedangkan kuasa-Nya bersifat selamanya, sempurna, dan mencakup semua.

Allah Maha Berkehendak. Dia memiliki kemampuan mewujudkan semua kehendak. Bila berkehendak berbuat Dia kuasa berbuat, bila berkehendak tidak berbuat Dia kuasa tidak berbuat. Kalaulah berkehendak, tentu Allah dapat menciptakan makhluk lain serupa manusia atau menghilangkan kehidupan di muka bumi. Allah selalu memiliki kesanggupan tanpa hambatan untuk melakukan apa yang Allah kehendaki, dan tidak melakukan apa yang Dia tidak kehendaki. Allah memiliki kebebasan untuk berkehendak dan berbuat yang tidak dibatasi ataupun didorong oleh sebab di luar diri-Nya.

Allah Maha Menentukan. Dia memiliki kemampuan untuk menentukan kadar segala sesuatu. Allah menentukan segala ukuran sehingga pelaksanaan kehendak-Nya atas sesuatu tidak menghalangi pelaksanaan kehendak-Nya atas sesuatu yang lain. Dialah sebaik-baik yang menentukan segala hal. Hamba yang sadar, akan merasa lemah, namun bersyukur atas semua anugerah.

Manusia yang berkesadaran sebagai hamba al-Qādir, mengembangkan potensi dan kekuatan dirinya untuk membantu, memberdayakan, dan meraih tujuan-tujuan positif. Ia mengendalikan diri untuk tidak sewenang-wenang atau memaksakan kehendak kepada orang lain. Ia mengatur rencana-rencana, mempertimbangkan keadaan-keadaan, namun tidak mudah putus asa saat menemui hambatan.

[Red]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *