[JAKARTA, MASJIDUNA]– Nama Haji Agus Salim selama ini lekat dengan sosok yang pandai dalam berdiplomasi dan berargumen. Namun, pendiri republik ini yang sederhana ini, adalah seorang ulama besar yang dimiliki Indonesia. Pengorbanan pada republik tidak diragukan lagi saat dia berkeliling ke berbagai belahan dunia, dari negara-negara Eropa sampai Timur Tengah, untuk membawa misi kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: Mengenang HOS Cokroaminoto yang lahir 16 Agustus
Setelah Indonesia merdeka pada tahub 1953, dia diangkat sebagai dosen selama enam bulan di di Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat. Jadwal kuliahnya berlangsung tiap hari Sabtu, pukul 11.00 waktu setempat.
Ternyata para mahasiswa yang hadir, yang sebagian besar nonmuslim, sangat menyukai kuliah-kuliah yang dia berikan. Agus Salim sempat heran dengan kehadiran para mahasiswa yang membludak itu. Ia juga diundang memberi ceramah tentang Pergerakan dan Cita-Cita Islam Indonesia di Princeton University. salah satu guru besar di sana, George McT Kahin, menyebut kuliah islam Haji Agus Salim di Amerika Serikat banyak menimbulkan minat di kalangan kaum mahasiswa. Belum pernah ada guru besar muslim yang memimpin program dimaksud di kampus terkemuka di negara Barat.
Sebagai tokoh Sarekat Islam, Salim memiliki pengetahuan tentang keislaman yang luas dan mendalam.Sejak di zaman Belanda dia sudah berdakwah, baik melalui corong radio maupun penerbitan. Tidak heran dia menghasilkan sejumlah karya, antara lain Cerita Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw (1935); Riwayat Kedatangan Islam Di Indonesia (1941); Keterangan Filsafat Tentang Tauhid; Takdir dan Tawakal (1953); Ketuhanan Yang Maha Esa (1953); Muhammad sebelum dan Sesudah Hijrah (1958); dan pesan-pesan Islam : Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell university Amerika Serikat (2011).
Meski dia adalah tokoh bangsa dan ulama besar, namun kehidupannya justeru sangat jauh dari kemewahan. Hal itu sudah berlangsung sejak Indonesia masih belum merdeka.
Baca Juga: “Sabilal Muhtadin”, Karya Ulama Nusantara Bagi Dunia
Mohammad Roem, sahabat sekaligus “anak didik” Salim, pernah menuliskan kenangan pada Salim dalam sebuah catatan berjudul “Haji Agus Salim” yang termaktub dalam buku ” Seratus Tahun Haji Agus Salim” (Pustaka Sinar Harapan, 1996). Pada suatu kesempatan di tahun 1925, Roem dan beberapa sahabat sengaja bertandang ke rumah Agus Salim di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Mereka pergi memakai sepeda.
Sampai Stasiun Senen, jalan sudah diaspal, tetapi seterusnya masih tanah dan banyak berlubang. “Melalui jalan itu dengan sepeda seperti duduk di perahu di atas air yang berombak,” kata Roem. Tanah Tinggi masih kampung yang becek.
Setelah dari Tanah Tinggi, Agus Salim kemudian pindah ke Gang Toapekong, dekat kawasan Pintu Besi.
“Meski rumahnya tidak kurang besar dari rumah di Gang Tanah Tinggi, tetapi jauh kurang baik,” kata Roem. Hanya ada meja dan kursi di luar, namun di dalam rumah hampir-hampir kosong. Sehingga saat Roem datang, diterima di atas tikar.
Baca Juga: Pentingnya Peran Ulama Cegah Penyalahgunaan Narkoba
Roem sendiri segan untuk bertanya soal kepindahan rumah ini. “Tidak sempat memikirkan perasaan kasihan dengan keadaan keluarga Haji Agus Salim yang hidup dalam keadaan kekurangan,” lanjutnya.
Setelah Indonesia merdeka saat ditunjuk menjadi pimpinan delegasi perjanjian Linggarjati, orang Belanda yang turut dalam perjanjian itu memberi kesaksian. Salim adalah sosok orang yang sangat pandai, jenius dan menguasai sembilan bahasa. Tapi dia punya satu kelemahan, “yaitu selama hidupnya melarat,” tulis Prof Schermerhorn dalam catatan hariannya, Senin malam 1 Oktober 1946.
Tokoh pendiri republik ini meninggal dunia pada 4 November 1954 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara kenegaraan esok harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, diantar oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan disaksikan oleh puluhan ribu rakyat. Itulah sosok ulama di era kemerdekaan, cinta tanah air sekaligus membangkitkan semangat Islam.
(IMF/dari berbagai sumber)
One thought on “Haji Agus Salim, Tokoh Bangsa, Ulama Besar Kebanggaan Indonesia yang Hidup Sederhana”