[JAKARTA, MASJIDUNA] – Politik primordial di Indonesia masih berpotensi muncul di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan produk legislasi syariah yang beririsan dengan aspek keindonesiaan dan kemodernan cenderung membuka tafsir ambigu. Karena itu dibutuhkan pengujian ulang terhadap literasi klasik dipadukan dengan dialog dialektis.
Hal demikian disampaikan Prof. J.M. Muslimin, M.A., Ph.D dalam pidato pengukuhan guru besar bidang politik hukum Islam di UIN Syarif Hidayatullah. Dia menyebutkan potensi perdebatan politik primordial yang ekstrem terbuka terjadi dalam praktik politik di Indonesia. “Perdebatan politik primordial yang lebih fundamental dari adu wacana panas seperti saat Pilkada DKI Jakarta, sangat mungkin terjadi,” ujar JM Muslimin saat menyampaikan pidato pengukuhan guru besar dengan judul “Siyasah Syar’iyah Dialektis:Refleksi Pergumulan Ruang Publik dan Deideologisasi Hukum Islam Indonesia” di Auditorium Prof. Dr. Harun Nasution, UIN Jakarta, Rabu (20/12/2023).
JM Muslimin beralasan, potensi tersebut muncul lantaran produk legislasi syariah beririsan dengan aspek keindonesiaan dan modern yang cenderung membuka tafsir yang kabur termasuk terhadap tafsir tekstual syariah. Dia menyebutkan kesepakatan awal tentang relasi syariah dan negara yang mewujud melalui Pancasila sebagai dasar negara, dalam batas tertentu bersifat modus vivendi. “Jadi dalam batas tertentu, Pancasila bersifat penyelesaian taktis di atas permukaan atau modus vivendi, yang diikuti oleh produk regulasi lainnya,” tegas JM Muslimin.
Atas kondisi tersebut, JM Muslimin berpendapat dialektika ekstrem yang dipicu interpretasi regulasi yang berbasis kesyariahan di ruang publik berpotensi terjadi. Karena itu, JM menyebutkan pengujian kembali terhadap literasi klasik dalam perspektif Al-Qardhowi dan konsep dialog dialektis perspektif Habermas dapat menjadi jembatan kogniitf yang dapat memperkaya perspektif seraya mencari solusi yang berkelanjutan. “Langkah tersebut dipadukan dengan menguraikan persoalan yuridis, filosofis dan sosiologis, dengan mengacu kepada nilai-nilai keadaban sipil (deideologisasi) tanpa meninggalkan jiwa relijiusitas,” tegas JM Muslimin.
JM Muslimin mengutip pandangan Yusuf Al-Qardhawi yang menyebutkan khazanah peradaban Islam seperti ilmu pengetahuan, seni dan sastra bukanlah sesuatu yang tidak bisa salah. Karena itu, upaya kritik, pengakjian ulang, diskusi, penilaian kualitas atas baik dan buruknya harus senantiasa dilakukan. “Sikap yang seharusnya kita lakukan adalah berupaya menghidupkannya kembali khazanah ini dan menyajikannya dengan metode dan mekanisme kontemporer, serta menyesuaikannya dengan tepat,” kata JM Mengutip pandangan Qardhawi.
Adapun pandangan “Dialog-Dialektis”, JM Muslimin mengutip gagasan Jurgen Habermas yang menyerukan terjadinya penafisran hubungan antara iman dan pengetahuan dari perspektif masing-masing yang membuka peluang salong memahami dalam koeksistensi reflektif dan kerjasama yang tercerahkan. “Mereka tidak boleh secara apriori mengesampingkan kemungkinan untuk menemukan konten semantik dalam pernyataan-pernyataan keagamaan sebagai sesama warga negara, bahkan mungkin dalam intuisi tersembunyi mereka sendiri, yang dapat diterjemahkan dan dimasukkan ke dalam argumen publik,” sebut JM Muslimin mengutip pandangan Jurgen Habermas.
JM Muslimin saat ini merupakan Ketua Program Studi Program Doktor Pengkajian Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. JM menyelesaikan pendidikan S-2 di Universitas Leiden, Belanda, serta S-3 di Universitas Hamburg, Jerman. Tradisi keilmuwan keislaman ia tempuh di Pondok Pesantren, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Perpaduan ini menjadikan JM Muslimin sebagai sosok intelektual muslim Indonesia yang kerap menuangkan gagasannya dalam forum konferensi internasional maupun melalui tulisan di jurnal bereputasi internasional. Kajian politik hukum Islam menjadi perhatian pria asal Bojonegoro, Jawa Timur ini.
[RAN]