Pidato Pengukuhan Guru Besar UIN Jakarta, Prof Khamami Gulirkan Teori “Legislasi Syariah Demokratik”

[JAKARTA, MASJIDUNA] – Formalisasi hukum Islam ke dalam hukum positif negara melahirkan konsekuensi. Di antaranya, norma yang bersumber dari Islam itu terbuka untuk dinilai, dievaluasi, bahkan dikritik sebagai bagian dari mekanisme demokrasi. Realitas ini memunculkan teori “Legislasi Syariah Demokratik”.

Guru Besar Ilmu Fikih Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Khamami Zada mengatakan sifat transendensi syariah yang absolut akan berubah ketika diformalkan menjadi qanun (hukum positif). Situasi tersebut akan memberi konsekuensi logis terhadap hukum Islam yang berubah menjadi hukum positif dalam negara.

“Pudarnya nilai transendensi syariat Islam ketika menjadi qanun, memberikan ruang terbuka untuk dinilai, dievaluasi, dan bahkan dikritik sebagai bagian dari demokrasi,” sebut Khamami dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dengan judul “Syariat dan Kekuasaan: Pergumulan Ideologi, Politik, dan Hukum di Negara-negara Muslim”, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (20/12/2023).

Lebih lanjut Asisten Staf Khusus Wapres RI KH Ma’ruf Amin ini menguraikan syariat Islam merupakan hukum Allah yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits yang bersifat absolut kebenarannya. Namun demikian, kata Khamami, saat Syariat Islam diterapkan dalam kehidupan umat Islam dalam bentuk masyarakat dan negara, otoritasnya berubah tak lagi absolut, namun menjadi relatif.

“Syariat Islam tidak lagi dalam bentuk nash al-Quran dan hadits melainkan berubah menjadi fikih, qadha, fatwa, dan qanun. Karena bukan lagi Allah SWT dan Nabi SAW sebagai subjeknya, maka fikih, qadha, fatwa, dan qanun bersifat relatif,” tegas Khamami.

Kepala Lembaga Penjamin Mutu (LPM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memotret ideologisasi terhadap syariat Islam sebagai hukum Allah SWT yang bersifat absolut disamaratakan dengan ideologisasi terhadap produk ijtihad seperti fikih dan fatwa. “Padahal, fikih dan fatwa tidak tunggal. Di dalam fikih, ada berbagai mazhab. Perbedaan pendapat sudah biasa terjadi di kalangan ulama yang melahirkan mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali,” sebut Khamami

Tidak hanya itu, Khamami juga memotret, praktik ideologisasi terhadap produk ijtihad itu justru melahirkan kelompok garis keras dan radikal. Dia menyebut ISIS dan Al-Qaidah merupakan wujud dari ideologisasi radikal dalam memahami syariat. “Padahal, pemahaman ISIS dan Al-Qaidah terhadap nash-nash al-Quran dan hadits bukan syariat Islam yang bersifat absolut dan mengikat. Kebenaran pemahaman mereka bersifat relatif (bisa benar dan bisa salah), karena pemahaman mereka bisa dalam bentuk fikih sebagai pandangan ulama ataupun bisa dalam bentuk fatwa,” cetus Khamami.

Di bagian lain Khamami menyebutkan dalam praktik penerapan hukum Islam di sejumlah negara-negara muslim menerapkan demokratisasi syariah kecuali di Arab Saudi, Iran, dan Brunei Darussalam. Menurut dia, syariat Islam yang dilembagakan dalam sistem hukum negara semakin demokratik karena masuk dalam sistem demokrasi yang membuka ruang publik. “Jalan politik dalam legislasi syariat Islam menghantarkan syariat Islam sebagai hukum agama yang demokratik dan konstitusional yang mengikat ke seluruh warga negara,” tegas Khamami.

Dalam kesempatan tersebut, Khamami mengusulkan teori “legislasi syariah demokratik” yang dibangun atas konsepsi bahwa syariat Islam yang berasal dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW ketika diterapkan harus dilegislasi oleh negara, meskipun tidak semuanya. “Legalisasi syariat Islam dilaksanakan dengan sistem demokrasi sebagai sistem politik yang disepakati oleh suatu negara,” kata Khamami.

Namun Khamami menggarisbawahi, penerapan teori ini tidak lantas menjadikan negara-negara mendasarkan pada konsep “theocratic systems of government”. Lebih dari itu, ketika syariat Islam sebagai hukum negara melalui legislasi dalam konstelasi politik yang plural dan terbuka, maka syariat Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional yang demokratik. “Syariat Islam bukan dalam kerangka sistem hukum yang berada di bawah kendali monarkhi,” tegas Khamami.

Khamami Zada merupakan alumnus S-1 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, S-2 dan S-3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Khamami juga merupakan lulusan S-2 Hukum Perbandingan di Uiniversite de Perpignan, Prancis (2015-2016). Aktivis Nahdlatul Ulama (NU) ini banyak berkecimpung di di lingkungan NU seperti Lakpesdam NU dengan menjabat sebagai Wakil Ketua PP Lakepsdam NU (2015-2021). Ia juga menjadi Editor in Cheif Jurnal Ahkam (2018- sekarang). Pada tahun 2006-2015, Khamami menjadi anggota Tim Kajian Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) RI Bidang Agama. Saat ini, Khamami menjadi Asisten Staf Khusus Wapres RI (2020-sekarang).

[RAN]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *