Oleh: Saru Arifin (Mahasiswa Doktoral Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pecs, Hungary)
[HUNGARY, MASJIDUNA] – Bagi sebagian orang menjalani ‘peran’ sebagai kelompok minoritas mungkin kurang menyenangkan, bahkan dalam kasus tertentu merasa terancam oleh minoritas. Namun hal itu tidak demikian bagi kami kelompok muslim minoritas di Kota Pecs, Hungary.
Kota ini dalam bentangan sejarahnya pada abad ke-15 (1544-1699) pernah dikuasai oleh Turki Usmani. Artefak sejarah yang tersimpan di dalam Masjid Pasha Kasim yang saat ini beralih fungsi menjadi museum merekam kekuasaan Ottoman tersebut. Sementara masjid lainnya yang berjarah sekitar setengah kilo ke arah utara dari Masjid Kasim ini merupakan warisan lainnya dari Ottoman, namun saat ini juga dialihfungsikan menjadi museum oleh Walikota Pecs.
Dialihfungsikannya kedua masjid tersebut tentu berimplikasi terhadap kebutuhan tenpat ibadah bagi muslim Pecs yang jumlahnya setiap tahun meningkat. Saat ini tercatat sekitar 270an lebih Muslimin dan Muslimat yang terekan di group WA Muslim in Pecs. Bertambahnya populasi muslim di Kota Pecs ini merupakan dampak langsung dari kebijakan pemberian beasiswa secara besar-besaran oleh Pemerintah Hungary melalui skema Stipendium Hungaricum Scholarship kepada pelajar-pelajar dari Asia, Timur Tengah dan Afrika. Lalu bagaimana komunitas Muslim Pecs ini menyiasati kebutuhan tempat ibadahnya, khususnya shalat Jumát?
Pasca ditutupnya masjid di Kota Pecs oleh pemerintah setempat, para kaum muslimin–setidaknya sejak awal pandemi (2020-2021) menjalankan shalat Jumát ke masjid di kota terdekat Siklos yang berjarak satu jam perjalanan bus. Disitu ada sebuah masjid peninggalan Turki Usmani yang masih bisa difungsikan, namun sejak beberapa bulan lalu juga dialihfungsikan menjadi museum oleh pemerintah setempat.
Alhasil, sejumlah pengusaha ‘tajir’ yang ‘dikirimkan Allah SWT dari Dubai membeli sepetak pekarangan di Kota Siklos tersebut dan dibangunlah sebuah rumah yang berfungsi ganda, rumah musafir plus masjid. Di Hungary, pemerintah Viktor Orban tidak mengijinkan bangunan Masjid berbentuk sebagaimana masjid pada umumnya yang ada kubahnya. Hal itu bisa ditemui disemua Masjid yang ada di Budapest maupun di kota-kota lainnya seperti Szeged, Debrecen, Miskolc dan lain sebagainya.
Dalam beberapa literatur, misalnya yang ditulis oleh Katarzyna Gorak-Sosnowska (2011), dalam artikelnya ‘Muslims in Europe: Different Communities, One Discourse? Adding the Central and Eastern European Perspective’, menyebutkan bahwa bayang-bayang Islamophobia masih kuat ‘menghantui’ alam pikir kaum tua di Hungary. Sehingga hal itu dikapitalisasi oleh para politisi di negeri tersebut dengan sokongan media tentunya untuk kepentingan meraup suara pada saat pemilu.
Realitas ini menunjukkan bahwa politik identitas agama tidak saja terjadi di ‘negara Muslim’ seperti Indonesia, namun di negara-negera Eropa hampir semuanya terjadi. Belakangan yang ramai adalah kasus pembakaran Al-Qurán oleh para Politisi sayap kanan di Finlandia, Swedia, Denmark dan Belanda.
Kembali ke soal kebutuhan tempat ibadah bagi Muslimin Kota Pecs. Dengan tidak adanya masjid yang bisa digunakan sebagai tempat shalat Jumát, maka para mahasiswa yang tinggal di Asrama berinisiatif untuk meminjam sebuah ruangan kosong di asrama tersebut untuk keperluan salat Jumat.
Dengan penjelasan yang bisa meyakinkan petugas asrama, akhirnya ruangan tersebut dibolehkan untuk shalat Jumát. Namun bila ruangan tersebut hendak dipakai tentu tidak bisa digunakan untuk salat Jumat. Akhirnya, beberapa mahasiswa yang kuliah di Fakultas Teknik berinisiatif untuk meminjam lapangan indoor basketball, dan diijinkan hanya satu jam saja dari jam 13.00-14.00.
Pelaksanaan salat Jumat di lapangan basket ini berjalan mulus selama dua tahun belakangan. Usut-punya usut, ternyata pengusaha Muslim di Pecs berinisiatif untuk menyewanya selama setahun. Dengan demikian, ruangan tersebut dijamin kosong pada setiap hari Jumát dari jam 13.00-14.00. Namun demikian, terkadang jika ada eksebisi pertandingan, ruangan tersebut tidak bisa digunakan untuk shalat Jumát.
Alhasil, kamipun tidak kehilangan semangat, mencari alternatif tempat untuk shalat Jumát: pekarangan kampus. Jika saat musim panas (summer), shalat Jumát outdoor tentu tidka problem, namun pada saat musim dingin (winter) akan sangat bermasalahan. Untungnya saat winter kemarin cuman dua kali kami shalat Jumát di pekarangan kampus dan cuaca belum begitu dingin di awal winter.
Awal Februari 2023 ini menjadi sebuah kenikmatan bagi kaum muslimin-muslimat kota Pecs. Sebab, beberapa pengusaha muslim dari Kuwait dan Hungary berhasil membeli sebuah bangunan galeri tepat beberapa meter di belakang Masjid Pasha Kasim di Pusat Kota untuk dijadikan Islamic Center dan tentunya Masjid. Dalam edisi Jumátan perdana di Masjid baru (17/2/2023) lalu, salah seorang Imam Masjid dari Budapest (semacam MUI-nya) mengekspresikan kegembiraannya melalui khutbah berbahasa arab yang cukup panjang. Hal itu cukup dimaklumi, karena tidak mudah mendapatkan ijin mendirikan tempat ibadah di negeri bekas komunitas ini.
Itulah barangkali hadiah terindah dalam peringatan Isra’ Mi’raj tahun ini bagi kaum muslimin dna muslimat di Kota Pecs. Jumátan ‘secara bergerilya’ kini akan menjadi kenangan manis tersendiri. Bagi kami (saya khususnya) sangat menikmati cara jumátan bergirilya tersebut. Sebab, semakin banyak tempat ‘gerilya’ untuk shalat, maka akan semakin banyak tempat-tempat yang dijadikan tempat sujud. Ini pula yang kami alami ketika bermusafir ke banyak tempat dan negara di Eropa yang tidak ada Masjidnya yang bisa dijangkau, bisa tetap sujud dimanapun tempat. Karena hakikatnya setiap jengkal tanah adalah Masjid kata Rasulullah SAW yang ‘diijazah’ Allah SWT sebagai keistimewaan bagi umat Islam.
[RAN/Foto: Dok Penulis untuk Masjiduna]