Kelucuan dan Kearifan Komunikasi Lintas Budaya

Oleh Noryamin Aini
(Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

“Kelucuan adalah keunikan. Di dalamnya ada makna yang sering terabaikan”

Sahabat!
Bahasa sering dijadikan candaan lintas budaya. Ini kisah kawan kita, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Adelaide. Dia datang dalam satu rombongan besar yang baru sehari tiba di Adelaide, Australia.

Di hari pertama, rombongan mendapat orientasi budaya dan wisata di kota. Pas pengarahan di Adelaide untuk pengenalan bank, Central Market (pasar khusus sayur-mayur, dan bahan makanan), terminal dan jalur bus. Para mahasiswa selalu berjalan bersama-sama dalam satu rombongan.

Kini rombongan berhenti di perempatan jalan. Saat menyeberang di tanda zebra cross yang ada tanda Don’t Walk, seorang mahasiswa ketinggalan menyeberang. Rombongan terus bergerak meninggalkan kawan kita yang “tercecer”.

Mimik wajah mahasiswa baru yang “tercecer” ini memperlihatkan kegelisahan, takut kehilangan jejak, nyasar di tengah kota. Apesnya, lampu di zebra cross sudah terlanjur berubah merah, termasuk tanda Don’t Walk. Dia tertahan untuk menyeberang jalan.

Baca Juga: Mutiara Makna Hidup

Itu artinya, kawan yang tercecer tadi harus menunggu perubahan warna lampu tanda boleh menyeberang. Karena takut tertinggal jauh, mahasiswa ini terus berlari menyeberang, untuk mengejar rombongan yang terus menjauh.

Di seberang jalan, kawan mahasiswa tadi dicegat oleh Polantas Adelaide. Kawan kita diinterogasi karena de facto dia melanggar aturan menyeberang. Si polisi bertanya kepada kawan kita “Why do you break the law (Don’t Walk)?”

Kawan kita yang bahasa Inggrisnya masih “imut”, pas-pasan, terus menjawab “I’m not walking; I’m running” Si polantas tertawa terpingkal-pingkal mendengar keluguan dan kelucuan jawaban kawan kita. Karena nalar logikanya semiotis, harfiah, kawan kita dilepas polantas, karena larangannya memang tertulis “Don’t Walk”, bukan tanda “Don’t Run”. “Aman” kata mahasiswa yang lucu tadi.

Lain lagi dengan kisah kawanku yang menjadi guru sepuh bahasa Arab dan juga sangat alim. Suatu saat dia mengirim WAG nasihat ke saya sebagai responsenya terhadap tulisanku. Dia menulis “Semoga kalbu kita suci”.

Sambil bercanda, saya berkomentar lewat tulisan “Kalaupun kalbu kita suci, ia tetap najis mughalladzoh” Si guru bahasa Arab ini tersentak, sambil tersenyum, dia menyadari kelatahan bahasanya. Kenapa lucu? karena kata kalbu dalam bahasa Arab berarti anjing.

Baca Juga: Amazing Muharam, Padu Training, Motivasi dan Mengaji Jadi Dakwahtainment

“Ustaz, kapan anjing bisa suci?” candaku padanya di WA balasan. Sebetulnya, kata Qalbu baru bermakna hati, zat bisa disucikan. Saya yakin bahwa ustaz tadi bermaksud menulis kata qalbu, tetapi jemarinya latah memencet kalbu. Di sini, saya belajar sesuatu dari kelucuan.

Sahabat!
Habis salat Subuh tadi, saya membaca kalimat WA seorang kawan non muslim. Kami sering bertukar pengalaman dan pemaknaan. Dalam WA-nya tadi subuh, dia menulis “liwath tulisan pak Noryamin khalayak bisa mengambil manfaat pesan yang tersurat dan tersirat di balik tulisan”. Saat membaca teks WA ini, saya mengingat balik kisah candaan renyah lintas budaya yang sering memunculkan kelucuan. Di sini, saya belajar hikmah keluasan qalbu komunikasi lintas budaya.

Saya sadar pa Ris, sebut saja begitu, tidak akrab dengan bahasa Arab. “Ini bukan kesalahan” sahutku ke pa Ris. Beliau mungkin tidak terlalu mendalami makna semantik diksi “liwath”. Dalam bahasa Arab, kata liwath bermakna “sodomi”.

Saya mencoba berpikir hermeneutis untuk menyimak arti implisit dari WA yang saya baca itu. Saya berpikir alternatif bahwa “tidak salah juga kalau pa Ris memakai pakem liwath di WA itu’. Pa Ris mungkin ingin mengatakan “Melalui penetrasi unik dari makna tulisanku, ada khalayak yang mendapat manfaat darinya”.

“Wah, dalam sekali pitutur pa Ris.” Begitu kesan tidak lazimku. Kesan ini lahir ketika saya berpikir positif bahwa “tidak selalu kesalahan yang kita tuduhkan adalah kebenaran” dan “tidak selalu apa yang kita gadang-gadang sebagai kebenaran adalah kebenaran sejati”.

Kita perlu membuka visi dan nalar pemaknaan alternatif saat komunikasi lintas budaya. Psikologi dan batin komunikasi lintas budaya seperti ini akan menenangkan qalbu. Qalbu kita akan mendapat banyak pelajaran indah setiap kita mendapatkan keunikan yang sering tidak dimaknai secara alternatif.

Baca Juga: Zikir Vs Celaka: Kisah Pameo Wali Allah

Hari ini saya belajar kearifan untuk menghindari “nalar proyektif’, yaitu model penalaran yang selalu menilai orang lain sesuai kerangka kesadaran dan keinginan subyektif kita. Kebenaran itu tidak tunggal. Bahkan ia sering kontradiktif, dialektis. Keluasan hati ternyata mampu menampung keragaman pemaknaan tersebut.

Selamat berbahagia dengan keluarga di Jumat berkah ini.
Pamulang, 19 Agustus 2022

(IMF/foto: Kompas.com)

One thought on “Kelucuan dan Kearifan Komunikasi Lintas Budaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *