Militansi Agama Harus Dibarengi Semangat Inovasi

[JAKARTA, MASJIDUNA]-–Kisah orang-orang Amerika –yang hijrah dari Inggris ke Amerika Serikat–adalah sekelompok orang yang menerapkan ajaran kristen secara puritan. Mereka menjunjung tinggi sikap bahwa agama harus di atas negara. Sementara di Inggris, negeri asal mereka, justeru menerapkan sikap bahwa negara harus di atas agama.

Di tanah baru itu, para penganut kristen puritan (seperti presbitarian atau methodis) kemudian menerapkan sikap moral dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang kemudian melahirkan “Christian Ethic” yang menjadi cikal bakal kapitalisme di Amerika serikat.

Semangat keagamaan yang dibawa oleh kelompok kristen itu, melahirkan berbagai penemuan dan inovasi. Salah satunya Henry Ford sang pencipta mobil. Menurut cendekiawan Islam rYudi Latif, inovasi Ford melahirkan pembuatan jalan dan marka.

“Namun, di kemudian hari ditemukan bahwa banyak bayi lahir hasil hubungan jok belakang mobil ciptaan Ford tersebut,” urai Yudi ketika berbicara dalam acara Tasyakuran dan Peluncuran Buku Ayzumardi Azra, CBE, dengan tema ‘Politik Global dengan Islam Washatiyah Mencegah Ekstrimisme dan Terorisme” di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (4/3/2020).

Henry Ford, kata Yudi, tidak membayangkan hal itu. Maka, pada produksi selanjutnya dia membuat mobil model E dan meminta kepada para teknisi agar memperkecil jok belakang. Ide tersebut lahir karena Ford memegang nilai-nilai kristen.

Dari kisah tersebut, militansi agama bukanlah masalah. Tapi harus melahirkan inovasi. Di Indonesia saat ini, militansi agama pun sedang tumbuh, namun sayang tidak diikuti sikap inovatif. “Padahal kita punya banyak lulusan ITB, UI dan UGM,” katanya.

Hal itu karena orang-orang yang memiliki sikap kesalehan itu tidak tercerahkan dan kurannya literasi.

Keunggulan Islam di Indonesia

Sementara pada kesempatan yang sama Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’thi mengatakan bahwa Islam di Indonesia punya potensi mengembangkan washatiyah (moderasi) ke tingkat global. Sebab, selain dari sisi populasi terbesar di dunia juga tingkar ketaatan pada ajaran yang cukup tinggi, bahkan di bandingkan dengan negara Arab Saudi. ” Kalau datang ke Arab dan bisa bahasa Arab, bisa dianggap syekh,” kata Mu’thi yang disambut tertawa hadirin.

Hal itu tidak mengherankan, sebab tradisi keilmuan di Indonesia sangat kuat. Hal itu bisa dilihat dari tradisi bacaan dan hapalan kitab kuning di pesantren-pesantran. Semua itu menjadi modal bagi Indonesia untuk menjadikan Islam sebagai Islam moderat.

(IMF/foto: islampos)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *