Oleh: Anisa, ST,MT
Staf Pengajar Prodi Arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta, Kelompok Studi Keilmuan Teori, Kritik, dan Sejarah Arsitektur
[KUDUS, MASJIDUNA] — Kawasan Menara Kudus menjadi destinasi wisata religi yang banyak dikunjungi hingga kini. Situs bersejarah ini terletak di Kota Kudus, atau sekitar 59 km dari Semarang jantungnya Jawa Tengah, menjadi pusat Kota Lama Kudus. Masyarakat mengenal daerah ini sebagai Kudus Kulon, karena lokasinya di sebelah barat (kulon) sungai bernama Kaligelis.
Kawasan ini menjadi destinasi wisata religi karena keberadaan makam Sunan Kudus, salah satu walisongo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Makam Sunan Kudus berada di kompleks yang sama dengan Menara Kudus dan Masjid. Persisnya berada dibelakang Masjid dengan julukan Masjid Al Aqsa.
Pada pekan-pekan menjelang bulan suci Ramadhan seperti saat ini, para peziarah dan wisatawan membludak sepanjang hari. Selain wisata religi berziarah ke Makam Sunan Kudus, saat ini juga banyak wisatawan yang berkunjung untuk menikmati arsitektur dan peninggalan sejarah. Arsitektur Menara Kudus memiliki bentuk yang khas, dengan bahan bata yang hingga sekarang masih terpelihara. Begitupula dengan masjid yang ada di samping Menara, dan pagar-pagar yang mengelilinginya.
Selain Menara Kudus, di sekitar kawasan ini masih dapat ditemui rumah tradisional Kudus dengan bahan kayu yang sarat dengan ukiran. Ada pula bangunan rumah kembar yang menjadi bukti sejarah keberadaan industri rokok di Kota Lama Kudus, rumah-rumah bergaya Eropa yang disebut rumah Gedong, dan rumah Kilungan yang berada di dalam pagar tinggi.
Sebegai informasi, rumah Kilungan pada masanya dikenal sebagai rumah yang merangkap sebagai tempat tinggal dan usaha keluarga. Cirikhas dari bangunan Kilungan ini dapat ditengarai masyarakat dengah penampakan bangunan tembok tinggi pada rumah tersebut. Tembok tersebut tertutup dari pandangan mata orang dari luar.
Perubahan fisik
Fenomena menarik dari arsitektur di Kota Lama Kudus adalah terjadinya perubahan fisik arsitektural yang tidak dapat dihindari karena dampak dari modernisasi dan perkembangan kebutuhan penggunanya. Tampak jelas secara visual perubahan arsitektur yang ada di sekitar Menara Kudus.

Pada sekitaran tahun 1990-2000 di sepanjang jalan Menara Kudus, jalan Sunan Kudus dan Jalan Kyai Telingsing, Kecamatan Kota Kudus masih banyak ditemui rumah Kilungan atau rumah yang berada di dalam tembok tinggi. Disepanjang jalan ini, masih dapat dijumpai keberadaan bangunan tersebut, dengan atap yang menjulang dikenal sebagai atap joglo pencu sebagai penanda bahwa di dalamnya ada rumah tradisional Kudus.
Meski saat ini kondisi sepanjang jalan menuju Menara Kudus sudah mengalami perubahan. Banyak rumah di sepanjang jalan tersebut yang kemudian berubah fungsi menjadi fasilitas komersial, dengan hadirnya berbagai toko Kitab, toko fashion , Cindera mata dan wisata kuliner.
Meski demikian, keberadaan pondok pesantren tradisional yang ada sejak awal penyebaran agama Islam yang dibawa oleh Sunan Kudus dikawasan tersebut, hingga kini tetap bertahan, diantara himpitan bangunan pemukiman yang padat dan bangunan lainnya.
Data bangunan
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis dari tahun 2000, didapatkan data bangunan utama pada rumah Kilungan, yang berbentuk rumah tradisional Kudus minimal mempunyai 2 bangunan didalamnya. Kedua bangunan tersebut terdiri dari rumah tradisional dan bangunan sisir.
Bangunan sisir adalah bangunan yang berada di depan rumah tradisional sebagai fungsi tempat usaha. Selain rumah tradisional Kudus dan bangunan sisir, di dalam rumah Kilungan juga ada gGotakan, dan halaman.
Ruang dalam rumah tradisional Kudus terbagi menjadi 3 yaitu Jogosatru, Gedongan, dan Pawon. Umumnya rumah tersebut mempunyai 1 hingga 2 pawon. Walaupun secara umum hanya terbagi menjadi 3 ruang besar namun sebenarnya dalam tiap ruang mampu menampung beberapa kegiatan. Misalnya Gedongan pada rumah tradisional Kudus dapat digunakan menjadi kamar, ruang keluarga, dan ruang menyimpan barang berharga.
Kamar pada ruang Gedongan rata-rata berjumlah 3 buah, seperti pada tata ruang rumah jawa pada umumnya. Gedongan ini merupakan ruang yang ditemukan paling akhir mengalami perubahan maupun penambahan fungsi. Rata-rata temuan pada Sedongan tetap digunakan untuk kamar, walaupun secara bentuk mengalami perubahan.
Jogosatru, sebagai ruang di dalam rumah tradisional Kudus awalnya digunakan sebagai ruang tamu. Ruang ini merupakan ruang yang pertama kali dilihat ketika kita memasuki rumah Kilungan. Jogosatru ini berbatasan dengan halaman, dan pada bagian depan terdapat pintu Slorogan atau pintu geser dari kayu bermotif ukiran.
Sementara Pawon merupakan ruang yang mewadahi kegiatan sehari-hari seluruh anggota keluarga. Pawon pada rumah tradisional Kudus berukuran luas, hingga lebar 6 meter. Selain bangunan utama, pada rumah tradisional Kudus terdapat bangunan usaha (bangunan sisir).
Bangunan usaha ini berkaitan dengan maraknya perdagangan palawija, tembakau, batik, dan pabrik rokok (skala rumah) di Kota Lama Kudus pada 1800-1900an. Bangunan sisir inilah yang digunakan sebagai bangunan dengan fungsi utama mewadahi kegiatan usaha.
Pada penelitian yang telah dilakukan, mayoritas rumah Kilungan awalnya memiliki usaha yang terletak di bangunan Sisir. Sesudah hunian diturunkan pada generasi-generasi berikutnya, ruang usaha yang dibutuhkan tidak sebesar jaman dahulu karena terjadi perubahan jenis usaha. Selain itu kebutuhan akan hunian meluas karena bertambahnya jumlah pengguna hunian.
Bangunan Sisir ini berubah menjadi rumah, dengan tetap mempertahankan orientasinya pada halaman. Ditemukan juga rumah Kilungan yang berubah menjadi pondok pesantren dengan mempertahankan bangunan utama dan menambah beberapa bangunan baru di sekitar halaman. Hal ini sebagaimana masih dapat disaksikan hingga kini yang berlokasi di Desa Kauman dan Langgar Delem, hanya beberapa meter dari Makam Sunan Kudus.
Perubahan menjadi bagian yang tidak dapat dipungkiri, begitupula dengan rumah Kilungan yang ada di Kota Lama Kudus. Strategi penghuni dalam merespon perubahan tersebut bermacam-macam. Salah satu yang ditemukan adalah adaptasi secara spasial atau keruangan.
Perubahan tersebut dimulai dari ruang yang paling umum atau yang berdekatan dengan halaman. Misalnya ada Gotakan yang dahulu digunakan sebagai tempat memasak menggunakan tungku dan kayu, serta sebagai tempat menyimpan barang. Saat ini diamati Gotakan mengalami perubahan, antara lain digunakan sebagai ruang makan dan dapur. Ada juga yang direnovasi menjadi sebuah rumah tinggal.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan ini berkaitan dengan adaptasi dan tingkatan atau hirarki ruang. Pada ruang dengan hirarki atau sakralitas tinggi, perubahan akan dilakukan paling akhir.
Keberadaan rumah tradisional Kudus memegang nilai-nilai hirarki ruang yang ada di dalam rumah. Tata ruang semakin ke belakang maka ruang semakin sakral. Nilai hirarki dari profan ke sakral adalah ruang Jogosatru-Pawon-Gedongan.
Selain itu, hirarki juga ditandai dengan perbedaan ketinggian lantai. Ditemukan bahwa aslinya ruang Gedongan adalah ruang yang mempunyai lantai paling tinggi dibanding ruang lain di dalam rumah. Berdasarkan skema hirarki adaptasi spasial pada hunian dapat dijelaskan bahwa bangunan Sisir dan Gudang-Gotakan yang mengalami perubahan paling awal.
[Red]