Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menerapkan kesetaraan terhadap siswa disabilitas.
[JAKARTA, MASJIDUNA] — Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih menyayangkan rencana Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang akan menutup SMP Muhammadiyah Butuh, Purworejo menyusul aksi perundungan terhadap seorang siswi berkebutuhan khusus oleh tiga teman sekelasnya di sekolah tersebut.
“Penutupan sekolah bukan solusi, masalah bullying atau perundungan adalah masalah bersama yang dapat muncul lagi di kemudian hari, mau berapa sekolah ditutup?,” ujarnya di Jakarta, Rabu (19/2).
Menurutnya, masalah perundungan adalah fenomena yang perlu mendapatkan solusi komperehensif dan berkelanjutan, melalui program yang masif. Kemudian didukung seluruh pihak, baik sekolah, wali murid, hingga pemerintah daerah sebagai penyelenggara kebijakan di tingkat lokal.
“Bukan hanya karena ada kasus atau insidental saja,” imbuhnya.
Di samping itu, hasil investigasi internal dewan pimpinan pusat Muhammadiyah yang turun langsung menyusulnya timbulnya kasus tersebut, menemukan bahwa tiga anak pelaku perundungan adalah siswa baru pindahan yang ditransfer dari sekolah lain.
“Tidak adil rasanya bila serta merta kesalahan ditimpakan kepada SMP Muhammadiyah Butuh,” ujar Fikri.
Lebih jauh, Fikri menilai justru SMP Muhammadiyah Butuh hanya sedikit di antara banyak sekolah yang bersedia menjadi sekolah inklusi. Dia mengapresiasi hadirnya SMP Muhammadiyah Butuh sebagai sekolah inklusif. Padahal perundangan mengatur bahwa pemerintah daerah wajib menunjuk minimal satu sekolah inklusi di tiap jenjang pendidikan pada tiap kecamatan.
Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menerapkan kesetaraan terhadap siswa disabilitas. Sehingga dapat belajar bersama di kelas reguler bersama-sama teman seusianya yang normal, tanpa harus dikhususkan kelasnya. Menurutnya penutupan sekolah inklusif dapat menghilangkan hak-hak anak disabilitas lain di sekitar wilayah itu.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu meminta, dengan terjadinya kasus perundungan terhadap anak berkebutuhan khusus oleh temannya yang normal, tidak kemudian dijadikan alasan penutupan sekolah inklusi. Hal tersebut sedianya dijadikan tantangan. Yakni agar anak penyandang disabilitas memiliki hak yang sama sebagai warga negara yang berhak memperoleh pendidikan dengan anak lain yang normal. Tentu saja sesuai Undang Undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Selain itu, soal kewenangan pemerintah Provinsi khususnya, Jawa Tengah yang melampaui tupoksinya. Menurutnya, sesuai Undang Undang Nomor 23 thn 2014, sebaiknya masalah SMP Muhammadiyah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Purworejo.
“Gubernur bisa memberi saran dan masukan. Pemerintah provinsi sebaiknya konsentrasi membenahi SMA/K sesuai kewenangan yang diamanahkan,” pungkasnya.
[AHR/Istimewa]