[JAKARTA, MASJIDUNA] —- Nama Mohamad Roem barangkali agak sayup-sayup terdengar saat ini. Tapi Mohamad Roem adalah salah satu tokoh bangsa, ikut berdiplomasi untuk kemerdekaan Indonesia. Posisi terakhir adalah sebagai wakil perdana menteri pada kabinet Ali Sastroamijodjo II (1956).
Roem, juga dikenal karena mengadakan perundingan dengan pihak Belanda untuk menyelesaikan beberapa persoalan sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949 yang dikenal dengan sebutan “Perjanjian Roem-Roijen”.
Setelah tidak aktif di dunia politik dan pemerintahan, Roem yang mantan anggota Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) ini sering mengadakan ceramah agama dan menuliskan berbagai hal di media massa. Berbagai tulisan semasa hidupnya terangkum dalam buku “Bunga Rampai dari Sejarah” yang berisi kenangan bersentuhan dengan banyak tokoh dan peristiwa.
Pada satu artikel, diberi judul “Hubungan Nasrani dengan Islam, Kewajiban Dakwah bagi Pemuda Terpelajar” yang merupakan hasil ceramah Konferensi Pelajar Islam Indonesia di Makasar tahun 1969.
Artikel dibuka dari satu insiden seorang pemuda muslim di kawasan Slipi, Jakarta Barat, yang merusak gereja yang sedang dibangun. Kala itu hubungan Islam dan Nasrani seringkali diisi oleh ketegangan. Roem pun menuliskannya, “ketegangan itu adalah gejala dari tidak mampunya kedua umat hidup bersama dengan damai.” Tulisnya.
Masih pada tulisan yang sama, dia lalu mengajukan pertanyaan retoris: Apakah umat Islam suka merusak gereja? Tidak. Banyak gereja di Indonesia sudah berabad-abad dan tidak mengalami gangguan apa-apa. Gereja Portugis di Jalan Jakarta dekat Stasiun Kota masih berdiri dengan megah dan utuh, sudah 300 tahun lamanya,” tulis Roem.
Dan setelah merdeka, barulah umat Islam di Indonesia mampu membangun banyak masjid yang cukup megah. “Dan alhamdulilah sesudah umat Islam di Indonesia ini merdeka, barulah Umat Islam dengan kekuatan sendiri mendirikan masjid-masjid yang megah seperti misalnya masjid Al Azhar di Kebayoran Baru, dan nanti masjid istiqlal. Masjid-masjid di kampung pun sudah banyak yang mentereng. Dan tidakah lebih nikmat kalau kita dapat mendirikan masjid yang sedap kita lihat dengan kekuatan sendiri? Meskipun kita tidak akan menolak, jika umat Islam di luar negeri akan memberi bantuan, tetapi kita tidak akan berputus asa bahkan merasa gembira dan patut bangga, bahwa tempat ibadah yang ada di Indonesia ini dibangun dengan keringat umat Islam di Indonesia sendiri..”
Roem juga tokoh yang bisa bersahabat dengan banyak kalangan tanpa membedakan agama. Pernah suatu ketika, pada saat Muktamar Parmuisi dia menginap di rumah keluarga Kristen ibu Mewikere, seorang Wakil Ketua Kristen Cabang Malang.
Tapi ada media dari “Sinar Harapan” yang memberitakan tentang kejadian tersebut dan lumayan menjadi bahan perbincangan secara positif karena menjunjung nilai toleransi. Tapi Roem menanggapinya dengan datar saja, ” hal yang demikian tidak kami sukai, karena persahabatan itu kurang murni kalau dijadikan bahan propaganda. Tetapi akhirnya kami tidak keberatan kalau orang mensyukuri keadaan yang demikian itu.” (IMF)