[JAKARTA, MASJIDUNA]–Sebelum aksara latin menjadi kebiasaan sehari-hari, masyarakat nusantara sudah biasa menulis dalam aksara pegon, yaitu bahasa Melayu, Sunda atau Jawa, tapi memakai aksara arab. Tentu saja sudah mengalami beberapa modifikasi.
Para ulama tempo dulu menjadikan aksara pegon sebagai satu-satunya media dalam menulis yang disebarkan kepada para santrinya. Maka bermunculanlah kitab-kitab ajaran agama Islam tapi beraksasra pegon. Kitab Al Ibriz, misalnya, karya KH Bisri Mustofa dari Rembang yang sampai kini masih dibaca para santri.
Namun meski dunia berkembang pesat namun kitab-kitab berhuruf pegon tak kehilangan peminat. Di marketplace Bukalapak kitab-kitab pegon dijual bervariasi dari berbagai kitab. Kitab yang paling murah adalah “Aqidatul Awam” seharga Rp4.400 dan kitab “Safinatun Najah” dibanderol Rp8000.
Para penjual kitab pegon memang masih tetap eksis sampai kini. Di Tanah Abang, Jakarta Pusat, terdapat deretan toko penjual kitab, termasuk yang beraksara pegon. Demikian pula dengan di Pasar Kebayoran Lama lantai II di dekat masjid, terdapat kios kecil yang menjual kitab-kitab pegon dengan harga sangat murah. Misalnya, kitab yang menggunakan bahasa Indonesia “Perhiasan Bagus untuk Anak Perempuan” karya Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Alwi dan “Adabul Insan” yang masing-masing seharga Rp 3000.
Meski terbilang kitab lama dan berharga murah, bukan berarti jarang pembeli. Penjaga toko di Kebayoran mengaku justeru sering kehabisan stok. “Malah banyak yang borong. Biasanya buat pengajian atau pesantren,” ujar sang penjaga toko.
Rupanya pesona kitab pegon tidak sirna meski zaman terus berubah. Salah satu daya tariknya adalah karena cara membacanya yang unik. Bila kita berhasil membaca dengan lancar dan benar, akan terasa lega. Sebab membaca pegon butuh kehati-hatian, salah baca akan salah arti. (IMF)