Melihat Persamaan dan Perbedaan Muhammadiyah dan Salafi

Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Agung Danarto (paling kiri di meja narasumber). Foto: Muhammadiyah

[YOGYAKARTA, MASJIDUNA] — Belakangan terakhir banyak kalangan yang ‘hijrah’ dan mendalami islam sesuai ajaran Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam dan para sahabat atau yang dikenal dengan salafi. Satu sisi perkembangan banyak kalangan yang hijrah  kehidupan spiritualnya menjadi lebih baik dalam beribadah hal yang menggembirakan. Namun perlu pula mengetahui apa itu salafi?.

Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Agung Danarto memulai penjelasan dengan menyebut cikal bakal gerakan Muhammadiyah melalui pemikiran Ibnu Taimiyah. Tokoh yang lahir pada 1263 ini, memiliki doktrin ijtihad tidak pernah tertutup. Sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah seringkali mengkritik teologi ahli filsafat, Mu’tazilah, Maturidiah, dan Asy’ariyah.

Inti dari kritiknya, menolak akal dalam konstruksi pemahaman akidah. Aliran salaf hanya percaya kepada akidah yang dalilnya ditunjukkan oleh nash al-Qur’an dan hadis. Karenanya, akal pikiran tidak memiliki kekuasaan untuk menakwilkan Al-Quran, kecuali dalam batas yang diizinkan bahasa dan dikuarkan oleh hadis.

“Kekuasaan akal fikiran hanya membenarkan dan tunduk kepada nash,” ujarnya dalam acara Pengajian Ramadan 1444 H yang diadakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Sabtu (25/3/2023).

Baca juga:

Dia menerangkan, akidah salaf menurut pandangan Ibn Taimiyah bertumpu pada tiga hal. Pertama, tauhid zat dan sifat. Kedua, tauhid penciptaan/rububiyah. Ketiga, tauhid ibadah/uluhiyah. Nah, konsekuensi dari pemikiran tersebut, manusia harus menyembah Allah semata dan tidak mengakui ketuhanan selain Allah. Implikasinya, larangan mengangkat manusia hidup atau mati sebagai perantara kepada Allah, mengkeramatkan kuburan, larangan ziarah kubur, dan lain-lain.

“Ini (pemikiran Ibn Taimiyah, red) saya kira di Muhammadiyah sangat kuat bahkan dalam jangka waktu yang lama, orang Muhammadiyah cenderung melarang untuk ziarah kubur, karena khawatir minta berkah. Padahal bagi Ibn Taimiyah yang dilarang itu minta berkahnya, jika hanya sebagai pengingat kematian, saya kira tidak mengapa,” terang Agung.

Agung melanjutkan, penerus dari salafisme Ibn Taimiyah ialah Muhammad ibn Abdul al-Wahab. Tokoh asal Arab yang lahir pada 1703 ini dalam praktik keagamaannya lebih keras dibanding Ibn Taimiyah. Beberapa ajarannya ialah tidak boleh berdoa kepada Allah melalui perantara (wasilah); meminta pertolongan kepada syekh atau wali yang sudah mati baik untuk mendapatkan jodoh, anak, rezeki dan keselamatan adalah syirik; haram berzikir dan membaca wirid dengan menggunakan tasbih; haram maulid Nabi dan lain-lain.

“Di Muhammadiyah saya kira sebagian ada yang merayakan maulid Nabi ada juga yang tidak. Kalau tawasul dan manaqiban nampaknya jarang di Muhammadiyah. Beberapa warga Muhammadiyah juga masih ada yang ikut tahlilan tapi tidak menyelenggarakan (sebagai tuan rumah),” katanya.

Bagi kalangan Wahabi, sumber ajaran Islam hanya al-Quran dan Sunnah yang dipahami se cara literal. Ijtihad bukan sumber, melainkan metode. Menurut Agung, pemikiran ini berbeda dengan Muhammadiyah yang memahami kedua sumber hukum Islam itu dengan akal.

[Red/Muhammadiyah]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *