Mental Block: Hijab Literasi, dan Tirai Perubahan (Meretas Tembok dan Penjara Kejumudan)

Oleh: Noryamin Aini (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) 

“Jangan biarkan air bersih luber (limpas), tumpah hanya karena wadah penampungnya terlalu kecil”

Begitulah bunyi kalimat hikmah menuntun kita untuk mendapat lebih banyak ilmu, untuk mengulik rimba misteri, untuk merengkuh lebih banyak kebenaran, dan menggali limpahan kebaikan, juga karunia Tuhan. Petuah sederhana ini, sejatinya, bertenaga meretas dan melampaui kejumudan (stagnasi). 

Kalimat mutiara di atas menyentil kita bahwa wadah yang kecil, invalid dan tidak relevan, akan membuang percuma kekayaan sumber daya yang berlimpah. Wadah kecil dan tidak relevan itu bisa berwujud mental block, kelicikan, kepicikan, apatisme, dan kesombongan.

Mental block adalah istilah psikologi. Ia sebagai gambaran kondisi kejiwaan yang berwatak penolakan atas banyak hal secara apriori. Faktor penyebabnya beragam seperti kelelahan otak; tidak fokus; lingkungan sekitar yang tidak kondusif; imposter syndrome (merasa tidak kompeten); jiwa perfeksionis; dan pesimisme.

Artikulasi, dan ekspresi dari mental block (menutup diri) menjelma dalam beragam format. Ia bisa berwujud perasaan sudah tahu, sudah mengerti, bahkan terkadang sok tahu; perasaan sudah tercukupi; perasaan tidak membutuhkan hal lain dan baru; juga perasaan ketakutan (terancam) terhadap hal-hal yang berada di luar penguasaannya.

Dengan watak penolakannya yang apriori dan apatis, mental block ini menjadi sandungan, dan tembok penghalang penerimaan hal-hal yang berada di luar jangkauan pengalaman, penalaran, dan tradisi. Mental block sering menolak-membuang banyak kebaikan, kebenaran alternatif, pelajaran hikmah, dan ilmu, menghentikan inovasi, serta mengingkari opsi strategi dan jalan lain guna menuju dan mencapai kebenaran dan kemajuan.

Sahabat!

Medan ilmu, spektrum kebenaran (ontologis dan epistemologis), serta kebaikan sangat luas. Kuantitasnya sungguh melimpah, bahkan tidak berbatas. Kadar cakupannya melampaui limit pengetahuan, kemampuan, pengalaman, dan penalaran manusia. Ranah gerak spasialnya membuana, dan lingkup gerak spiritualnya seluas bisik spiritual yang tanpa sekat, sedahsyat keganasan alam, seluas kasih-sayang Tuhan, dan seluas kelapangan qalbu yang mewadahi.

Alam, misteri jagat raya, kedalaman dan keluasan spiritual adalah wujud kemahaan Tuhan. Wujud kemahaan ini melimpah. Ia melampaui objektivitas takaran keterbatasan manusia. Tentang keluasan limpahan karunia dan keterbatasan dasar manusia, Allah berfirman (QS al-Kahfi:109) “(Hai Muhammad), Katakan (pada manusia) ‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (mendata dan mencatat) kalimat-kalimat (kemahaan) Tuhanku (Allah) (dalam wujud ilmu, kebenaran, hikmah, dan kebaikan), maka air samudera pasti tidak cukup (untuk mendokumentasikan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami (Allah) tambahkan air luat sebanyak itu lagi untuk mengabadikannya.’”

Sahabat!

Ironis, dan sangat disesalkan. Keluasan, kedalaman, dan limpah ruah seluk beluk ilmu, kebenaran, hikmah, dan kebaikan, dengan mudah dapat direduksi dan terpental jauh dari sosok yang bermental block. Mental block adalah kondisi kejiwaan berbahaya, karena ia anti perubahan, dan menolak alternatif.

Kejiwaan seberang dari mental block adalah psikologi keterbukaan; inovasi, dan apresiasi. Kelapangan qalbu, mental-wawasan terbuka, nalar absortif (menyerap) dan inovatif, strategi kontekstual, ide kreatif, dan sikap inklusif, dapat memfasilitasi manusia menghadapi dan menyikapi realitas duniawi yang penuh keragaman; kompleks; polemis; penuh kontroversi; dinamis; dan selalu berubah.

Realitas alam, dan gerak sosial-politik kehidupan ini dinamis, berubah, dan entitasnya penuh misteri. Karena sifat ketidak-terbatasan misteri alam, juga karena sifat dasar gerak kehidupan yang dinamis, dan keluasan ilmu pengetahuan, akselerasi kemajuan teknologi, keluasan misteri hikmah, maka kalimat bijak al-Quran surat al-Mujādilah:11 menjadi relevan untuk disimak, direnungkan, dan dibatinkan.

Dalam sebuah kalamnya, saidina Ali ibn Abi Thalib pernah berpesan bahwa Islam adalah ideologi dan energi perubahan ke level yang lebih baik dan lebih tinggi. Islam adalah ideologi dan power peningkatan taraf kemuliaan. Islam anti stagnasi, kejumudan. Allah dalam al-Quran di surat al-Mujādilah di atas menyentil “agar kita selalu berlapang dada (membuka diri), berwawasan terbuka, akomodatif, dan kontekstual dalam proses peningkatan kualitas kemartabatan diri.” 

Pesan ayat di atas mendorong kita untuk menyibak mental block sebagai sekat-hijab nalar anti perubahan dan kemajuan. Pesan quranik ini adalah spirit qalbu dan ilahiah yang kuasa meretas jerat dan penjara mental block, terutama berupa pemberhalaan rasa superioritas diri, wawasan dan pengetahuan, juga berwujud sikap menutup diri dan penolakan yang apatis-apriori ketika menghadapi dan menyikapi keragaman, kompleksitas, dinamika, perubahan, inovasi, serta tantangan.

Harus disadari bahwa pengalaman manusia terbatas. Pengetahuannya dibatasi oleh rangkaian pengalaman dan olah kerja penalaran akal. Dalam konteks ini, perasaan super dalam merasa paling benar; merasa sudah tahu, merasa sudah paham; merasa sudah bisa; dan merasa sudah cukup, menjadi batu sandungan perubahan untuk menuju kemajuan dan keadaan yang lebih baik. Mental block adalah kondisi jiwa anti perubahan; tirai inovasi. Dan penjara kreasi.

Sahabat!

Ada sebuah fakta bahwa sifat dasar alam dan kehidupan ini perubahan. Hari ini berbeda dari hari sebelumnya; banyak misteri dan rahasia di jagat raya dan di rimba gaib yang tidak diketahui manusia. Pengetahuan manusia sangat sedikit. Ia jauh lebih sedikit dibanding misteri alam dan rahasia gaib yang sudah terkuak. 

Manusia adalah makhluk terbatas. Maka, kita jangan jumawa dengan geliat arogansi dan rasa kesempurnaan. Tidak ada pilihan bijak dan solutif untuk menyikapi keniscayaan perubahan alam dan kehidupan, dan fakta keterbatasan kerja dan capaian manusia, selain psikologi keterbukaan dan kelapangan qalbu menyimak dan menerima keharusan perubahan dan kesemestian keragaman. 

Ingat! Mental block adalah tirai perubahan dan penjara kejumudan. Terhenti di satu titik adalah opsi psikologis yang akan menahan kita bergerak maju, untuk terus mengupayakan sesuatu yang bernilai lebih baik; lebih luas; dan lebih banyak. 

Bravo perubahan!

[RAN/Foto: lensapurbalingga.pikiranrakyat.com]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *