Melihat Etika Bermedia Sosial Merujuk Alquran dan Sunnah

Ada empat kaidah. Yakni ilmiah, keadilan atau al-‘adalah, tabayyun, dan al-manfa’ah.

[JAKARTA, MASJIDUNA] — Berinteraksi dan berkomunikasi di ruang publik terdapat etika yang perlu dipegang erat. Termasuk menerima dan menilai setiap informasi serta menyebarluaskan berita melalui media sosial. Pentingnya panduan dengan merujuk pada Alquran dan Sunnah dalam menerima, menguji setiap informasi.

Wakil Ketua Umum (Waketum) Persatuan Islam (Persis) KH Jeje Zainudin berpandangan ada etika dalam berbicara, menerima dan menilai setiap informasi di ruang publik, termasuk media sosial. Menurutnya ada beberapa kaidah dasar yang perlu dipegang setiap muslim dalam berinteraksi di media sosial.

Pertama, kaidah ilmiah. Menurutnya setiap orang mesti melihat suatr informasi dari aspek keilmuannya. Dia mengimba agar tidak sembarang menerima informasi dan opini dari orang yang bukan ahlinya. Nah bila ilm syariat, sumbernya pun mesti dari ulama dan cendikiawan yang pakar agama. Begitupula soal politik, kesehatan, kedokteran dan seterusnya.

“Janganlah menyerahkan ilmu pada yang bukan pakarnya, karena ilmu itu amanah. Akan binasa jika yang bukan ahlinya mengambil  alih amanah itu,” ujarnya dikutip dari laman Persis,  Selasa (10/5/2022).

Dia berpendapat, melalui kaidah ilmu, tak boleh sembarang menerima informasi yang bukan kapasitas ilmu penerima. Tapi, hendaklah bertanya terlebih dahulu kepad ahli di bidang masalah tersebut agar tidak tersesat dan menyesatkan. Sebagaimana pesan Al-Qur’an, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu”.

Kedua, kaidah keadilan atau al-‘adalah. Menurutnya kaidah tersebut mengharuskan memahami dan menyikapi setiap informasi secara adil dan seimbang. Bila informasi terdapat dari dua pihak yang berbeda, kedua informasi itu harus kita sandingkan lalu komparasikan. Jika bersifat tuduhan atau penafsiran, harus didengar juga orang yang tertuduh dan tafsiran yang lain.

“Jangan hanya ketika informasi itu datang dari pihak yang kita sukai, atau kelompok kita, atau sesuai dengan hawa nafsu kita, kita langsung terima dan kita anggap benar. Sedangkan kalau datang dari pihak lain kita langsung tolak dan kita vonis bohong,” katanya.

Dalam konteks ini, sangat keras peringatan Al-Qur’an, “Wahai orang beriman, jadilah kamu penegak kesaksian yang adil. Jangan karena kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah kamu, karena adil itu lebih dekat pada takwa.” (Al Maidah: 8).

Baginya, betapa dahsyatnya Alqur’an menegur umatnya sendiri agar berlaku adil dan objektif dalam segala hal, termasuk kepada musuh yang kita benci sekalipun.  Memang kerap kali bila terbawa kebencian, apa pun yang dilakukan orang yang dibenci pasti dinilai salah dan bohong. Sebaliknya kalau dari pihak yang kita dukung atau kita cintai, pasti semua informasikan disambut dengan penuh sebagai kebenaran.

Pada posisi itulah acakali orang lupa bahwa manusia memiliki nurani kebenaran, pikiran positif, dan hak mengoreksi dirinya sendiri. Kebenaran dari siapa pun datangnya, meskipun dari orang yang dibenci sekalipun, harus kita terima. demikianlah sikap adil yang diajarkan Islam.

Ketiga, kaidah tabayyun, klarifikasi. Maksudnya, bila suatu informasi penting datang harus dipastikan terlebih dulu kebenarannya sebelum diterima dan disebarkan. Kepastian itu melalui penelusuran sumbernya, apakah benar dan terpercaya. Kemudian konten atau isinya benar tidak diselewengkan dan interpretasinya atau framing opininya benar atau diselewengkan. Setelah semua pasti, boleh mengambil sikap dan keputusan yang harus dilakukan.

“Jika tidak, betapa banyak kerugian dan penyesalan yang akan terjadi akibat kecerobohan kita,” katanya.

Dalil dari kaidah ketiga ini sangat tegas di dalam Al-Quran, “Wahai orang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa berita maka periksalah terlebih dahulu. Jangan sampai kalian menimpakan keputusan kepada suatu kaum karena kejahilan kalian, lalu kalian menyesali tindakan kalian sendiri”,  (Al-Hujurat: 6).

Keempat, kaidah al-manfa’ah. Yakni, menerima dan menyebarkan suatu informasi itu menggunakan ukuran kemanfaatan. Tidak setiap berita meskipun benar itu bermanfaat disebarkan. Karena itu perlunya memilah dan memilih informasi yang berguna untuk disebarkan lagi, dan yang tidak berguna maka cukup disimpan saja.

Rasulullah mengingatkan dalam hadits riwayat Imam Muslim bahwa cukup seseorang itu jadi berdosa karena selalu menyampaikan apa yang ia dengar. Karenanya, dengarlah dan ketahuilah terlebih dahulu baik-baik sebelum disampaikan. Tapi jangan pula setiap yang didengar dan diketahui disebarkan.

Dia menilai, orang yang menyampaikan apa yang tidak diketahuinya terjerumus pada dusta dan jahil. Termasuk orang yang menyampaikan segala yang diketahuinya tanpa memilah tempat dan memilih situasi adalah orang yang tidak bijak.

Ali Bin Abu Thalib menasihati, “Bicaralah kepada manusia sesuai tingkat intelektualnya”. Setiap tempat dan situasi ada perkataan dan informasi yang tepat. Li kulli maqam maqaal wa likulli maqaal maqam, begitu pepatah Arab mengatakan.

Banyak pengetahuan dan informasi penting yang dimiliki orang-orang alim, tetapi mereka tidak menyampaikannya di medsos, karena bukan tempatnya dan belum tentu semua orang akan sampai kemampuan memahaminya dengan benar. Sebab itulah, ilmu yang sebenarnya harus dijemput dari ahlinya dan pada tempat yang selayaknya.

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui. Kenapa harus ditanyakan? bukankah kewajiban orang berilmu untuk menyampaikan?. Sebab, tidak semua ilmu yang diketahui orang alim layak diberitahukan kepada semua orang” tutupnya.

[AHR/Persis/ilustrasi: indonesianinstitute.com]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *