Mengokohkan Ikatan Keluarga di Tengah Wabah

Oleh KH Dr Muhammad Zaitun Rasmin, MA

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Wabah Covid-19 atau Corona yang belum juga berakhir telah banyak memporakporandakan sendi-sendiri kehidupan masyarajat. Mulai dari hancurnya perekonomian, kesehatan sampai tercerai berainya ikatan keluarga karena perceraian.

Meski demikian, Islam mengajar setiap muslim untuk mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Salah satu hikmah yang bisa diambil adalah mengokohkan ikatan keluarga.

Persoalan keluarga adalah persoalan yang sangat penting baik sebagai pribadi maupun kehidupan bernegara. Masalah keluarga adalah sesuatu yg sangat penting menyangkut kehidupan secara individual maupun sebagai masyarakat. Jika keluarga bahagia maka individu dan masyarakat pun bahagia. Karena tujuan keluarga adalah sakinah mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum:21).

Salah satu unsur penting dalam keluarga adalah hubungan suami istri, salah satunya adalah kemesraan diantara mereka. Materi hari ini lebih fokus kepada “bagaimana membangun kemesraan antara suami istri di tengah pandemi”. Alasannya adalah bahwa pandemi ini adalah rahmat bagi orang beriman. Sebagaimana hadits dari ‘Aisyah ketika bertanya tentang wabah tho’un. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini melalui haditsnya:
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wabah (tha’un), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadaku: “Bahwasannya wabah (tha’un) itu adalah adzab yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah jadikan sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Tidaklah seseorang yang ketika terjadi wabah (tha’un) dia tinggal di rumahnya, bersabar dan berharap pahala (di sisi Allah) dia yakin bahwasanya tidak akan menimpanya kecuali apa yang ditetapkan Allah untuknya, maka dia akan mendapatkan seperti pahala syahid”

Idealnya hubungan pasutri menjadi lebih baik karena lebih banyak bersama. Salah satu hal yang menjadikan keluarga itu baik adalah kebersamaan.

Tapi ternyata kebersamaan itu justru membuat keadaan semakin buruk. Banyak berita yang beredar bahwa terjadi banyak perceraian di masa pandemi. Padahal secara idealnya, kondisi keluarga di masa pandemi harusnya semakin mesra karena banyak bersama namun realitasnya, yang terjadi malah sebaliknya. Diantara penyebabnya:

Bertambahnya tugas istri di rumah, pekerjaan istri menjadi lebih banyak,
Mulai dari tugas rutin seperti menyiapkan makanan, menyiapkan berbagai kebutuhan keluarga, memasak lebih banyak dari biasanya, rumah lebih sering berantakan karena semuanya kebanyakan di rumah.

Pengeluaran cenderung bertambah seperti kebutuhan makan bertambah banyak, kebutuhan protokol kesehatan dan lain – lain sedangkan pemasukan berkurang.

Ketika situasi sudah mulai berat, suami tidak cepat tanggap, istri kurang sabar apalagi sampai ngomel maka bisa mengakibatkan pertengkaran dan berujung pada perceraian jika suami tidak sabar dan tidak cakap mengatasi masalah tersebut.

Di masa pandemi, pola kebersamaan dan interaksi antara suami istri
Jangan sampai kondisi kebersamaan kita seperti perkataan orang arab:
“Seringnya pergesekan bisa menghilangkan sensitifitas/respon”.

Karena banyak berinteraksi dengan pasangan hingga perasaannya menjadi kurang peka. Padahal secara idealnya, semakin sering bersama semakin menjadi dekat dan mesra.

Banyak kegiatan yang bisa dilakukan di masa pandemi misal dengan jogging berdua, minum teh hangat di malam hari sambil ngobrol hal – hal yang menyenangkan.

Inilah waktunya “Family time”: waktu bersama seluruh anggota keluarga
Social time dengan pembagian tanggung jawab di rumah diantara pasutri dan anak – anak
.

Selalu komunikasi dan musyawarah. Kata kunci ada pada komunikasi, komunikasi, dan komunikasi, disertai dengan musyawarah agar tidak sekedar komunikasi.

Kuantitas dan kualitas “Bukan karena hal penting kita berbicara tapi berbicara itu adalah hal penting”.

  • Berbagi cerita dan pengalaman.
    Seorang istri selalu ingin dihargai (diapresiasi) begitupun dengan anak – anak. Sedangkan suami selalu ingin dihormati. Sering – seringlah lah bercerita kepada anak – anak tentang aktifitas kita agar ketika dibutuhkan , mereka bisa memberikan dukungan untuk aktifitas kita.

Aspiratif

  • Mendengar aktif (mendengar keluhan atau masalah)
  • Empati ( bagaimana kita terbawa dengan apa yang mereka rasakan)
  • Fokus dan memberi solusi ( empati penting tapi jangan berhenti sampai di situ akan tetapi fokus pada masalah dan cari solusi)

Di antara anggota keluarga harus saling membantu.
Sebagaimana yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat yang senantiasa membantu pekerjaan istrinya. Nabi menjahit pakaiannya sendiri begitupula dengan sahabat Ali bin Abi Thalib yang selalu membantu pekerjaan istrinya fathimah.
Ketika berbicara madzhab fiqh sebagian mengatakan bahwa pekerjaan rumah tangga itu bukan kewajiban istri.

Pendamping yang loyal, pro aktif dan trampil dengan tanggung jawabnya sehingga:

  • sadar dengan kodrat, status dan fungsinya.
    Bahwa istri adalah pendamping suami seperti posisi direktur dengan stafnya, panglima dengan prajuritnya.
  • Tidak semata menunggu tapi punya inisiatif.

Misal dalam hal nafkah yang merupakan tugas suami, tidak mengapa si istri menyampaikan kondisi keuangan dan kebutuhan kemudian memberikan solusi tanpa menggurui. Atau jika suami tidak romantis maka jangan menunggu tapi istri boleh berinisiatif untuk memancing keromantisan suami.

  • selalu mengingatkan dengan baik walaupun dianggap cerewet atau diacuhkan
  • punya keterampilan dalam urusan rumah tangga dan pengasuhan
    .
    Suami istri adalah teman seiring sejalan menuju pulau harapan.
    Yang penting dalam hal ini bahwa: Perempuan adalah saudara kandung laki – laki Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai kaum wanita, “Wanita adalah bagian dari pria.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).

Maksudnya ada kesetaraan atau hubungan yang sangat dekat dan memiliki banyak kesamaan. Dalam ungkapan arab; syarikul hayah-syarikatul hayah (partner hidup). Hubungan yang cair seperti air yang mengalir.

Bisa dilakukan dengan cara:Tidak kaku dalam interaksi. Mengelola perselisihan dengan baik. Kenali diri. Siapa yang mengenal, menghormati dan mencintai dirinya maka dia akan mudah mengenal, menghormati dan mencintai orang lain.Mau berubah ( berubah itu merubah). Tidak menyalahkan yang lain.Jangan ada mental korban (merasa menjadi korban)

Mulailah berbuat baik niscaya akan kembali. Berbuat baiklah kepada pasangan meskipun merasa kesal. Mulailah kebaikan itu dari diri kita sendiri.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konselor Keluarga Wahdah Islamiyah

(IMF/foto: wahdahislamiyah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *