[JAKARTA, MASJIDUNA]—Tak ada yang bisa meramalkan sebelumnya, bahwa dunia yang makin terkoneksi ini harus menghadapi kenyataan pahit diluluhlantakan oleh virus corona. Modernitas dengan segala turunannya seolah tak mampu menahan laju kematian manusia dari hari ke hari. Negara yang disebut adidaya pun hanya terpaku tak mampu berbuat banyak.
Dalam kondisi ketidakpastian ini, sosok sang “sufi cinta” Jalaluddin Rumi layak diangkat melalui pesan-pesan sufistiknya. Salah satu syair yang dia tulis menyebutkan, “Hanya Dia sendiri yang berhak memecahkan, sebab Dia sendiri mempunyai kekuasaan memperbaiki. Dialah yang tahu bagaimana menjadi bersama, kemudian dalam sekejap Dia membuatnya lebih hidup dari semula.”
Syair-syair Rumi yang sangat menyentuh mengajak manusia tanpa batas budaya dan agama untuk mendalami sumur ruhani yang jernih. Kehidupan manusia yang terbebani dan sarat dengan konflik pada dasarnya tidak ada “keimanan”. Manusiaa terjebak dalam perbudakan diri sendiri yang palsu.
Praktik ruhani yang diajarkan Rumi adalah mengubah perbudakan manusia kepada “penyerahan diri” kepada Allah, kepada susunan hakikat yang lebih tinggi.
Ketika memberikan komentar atas karya Rumi, “Matsanawi”, Edmund Kabir Helminski (penulis dan pendiri Threshold Society) menulis bahwa tanpa sikap penyerahan diri, pribadi yang sebenarnya masih diperbudak oleh ego dan hidup dalam suasana konflik internal karena dorongan hati ego yang bertentangan. “Ego yang diperbudak itu akan terputus dari hati, organ yang penting untuk menyerap hakikat itu, dan tidak akan dapat menerima bimbingan dan gizi ruhani yang diberikan oleh hati.”
Kondisi dunia saat yang karut marut oleh wabah, dipercaya akan berdampak pada jiwa dan raga manusia. Pada sisi lain, banyak yang memberikan pesan agar manusia tetap optimis dan gembira demi mempertahankan kekebalan tubuh bahkan sembuh dari penyakit corona.
Di sinilah pesan-pesan Rumi, yang lahir di Balkh (kini Afganistan) pada 1207, tetap relevan. Pesan-pesan dari 800 tahun silam itu seolah kembali menemukan makna terdalamnya.
Rumi disebut sufi yang berbudi halus, menggairahkan, tenang, sangat serius tapi juga jenaka. Dia mengambil gagasan semua puisi-puisi cintanya dari ajaran Islam (quran dan hadits). Dalam dunia Rumi, cara hidup Islam yang telah membangun sebuah tingkat kesadaran ruhani yang tinggi di kalangan rakyat umum, seperti secara teratur salat lima kali sehari dan mengambil air wudhu, berpuasa, berzikir, istikamah, murah hati dan menghormati segala kehidupan.
Dalam puisi-puisinya, Rumi senantiasa menekankan pada olah batin agar menguasai diri. Sebagaimana Islam mengajarkan umatnya bahwa jihad terbesar adalah melawan diri sendiri. Rumi mengatakan, “singa ini yang mengobrak-abrik barisan adalah pahlawan kecil dibandingkan singa yang menguasai dirinya sendiri.”
Di era milenial sekarang, yang ternyata dunia makin tercabik-cabik ini, penting untuk melihat kembali khasanah lama literatur Islam. Khususnya karya-karya para sufi Islam tak lekang oleh waktu. Membacanya kembali mengingatkan tentang manusia yang makin terombang-ambing oleh keadaan.Dunia yang terus berkembang ini, ternyata di luar kendali manusia.
(IMF/foto: