[JAKARTA, MASJIDUNA]—Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Namun pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia berjalan lambat. Menurut Direktur Hubungan Kelembagaan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah Taufik Hidayat, hal ini karena tingkat literasi keuangan syariah masih rendah. Misalnya, untuk asuransi syariah atau takaful masih dipersepsikan oleh masyarakat sebagai produk yang rumit dan pengembalian (klaim) yang masih banyak diragukan.
Bandingkan dengan negara-negara tetangga yang sudah menggarap industri syariah secara serius, khususnya food and beverage. “Brazil, Thailand, Jepang dan Australia sudah memperbesar produk halal. Bahkan sapi dari Australia sudah diketahui nasabnya,” ujar Taufik saat berbicara dalam acara “Penerapan Asuransi Syariah dan SISKOPATUH dalam Penyelenggaraan Ibadah Umrah”, di Jakarta, Rabu (26/02/2020).
Karena itu, untuk meningkatkan tingkat literasi ekonomi dan keuangan syariah masih harus bekerja keras terutama sumber daya manusia (SDM), riset, dan kurikulum. “Ini untuk menuju Indonesia sebagi Global Halal Hub 2024,”ujarnya.
Sementara Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH. Bachtiar Nasir menjelaskan dalam acara pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII 2020 di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, bahwa ekonomi syariah tidak akan berkembang berkembang jika dunia dakwah Islam tidak didukung pengembangannya oleh negara, atau bahkan justru dihambat.
Hal ini disampaikan UBN kepada wartawan seusai acara pembukaan KUII-VII yang diresmikan Wakil Presiden RI KH. Ma’rif Amin, Rabu (26/02/2020). Bahtiar menambahkan, semua konsep dan stretegi Ekonomi Syariah, Ekonomi Halal, juga kehidupan berbangsa lainnya, hanya bisa berkembang di Indonesia, ketika dunia dakwah juga berkembang dan tidak dihambat.
“Jika dakwah dihambat, mustahil Ekonomi Syariah dan Ekonomi Halal bisa berkembang,”ujarnya.
(IMF/foto: