Menjemput Takdir Sebagai Umat Terbaik

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Kesenjangan antara orang kaya dan miskin di Indonesia terus menjadi sorotan. Tidak kurang dari PBNU yang melontarkan kritik atas kondisi ekonomi yang timpang ini. “Ada orang berfoya-foya sampai ketahuan menyelundupkan (motor) Harley, itu yang ketahuan. Mungkin yang nggak ketahuan banyak. Tapi ada orang yang buat makan saja susah,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj Desember lalu.

Kang Said, demikian ulama ini biasa disapa juga menyoroti kesenjangan yang menganga dalam soal kepemilikan lahan. “Ada pengusaha yang mengelola lima juta hektare, tapi ada orang yang buat makan saja mengais,” ujarnya.

Pernyataan Kang Said tersebut mendapatkan tanggapan positif dari Muhammadiyah, yang juga sama-sama memprihatini kondisi ekonomi yang tidak berpihak kepada si miskin. Bahkan, jurang kaya dan miskin yang makin melebar itu akan menimbulkan kecemburuan sosial.

Respon dua ormas terbesar di Indonesia itu seperti mewakili kondisi Indonesi saat ini. Sebab tak bisa dipungkiri sejalan dengan data dan fakta yang menunjukkan bahwa daya beli msayarakat terus merosot. Survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) jelas menunjukkan bahwa sampai tahun lalu tercatat 9, 41 persen dari seluruh penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Pada saat yang bersamaan, kesenjangan makin melebar antara kota dan desa.

Data tersebut memperlihatkan betapa perjalanan Indonesia yang akan memasuki usia 100 tahun belum bisa lepas dari lumpur kemiskinan. Kondisi ini makin memprihatinkan, sebab Indonesia tergolong negara dengan sumber daya alam melimpah seperti tambang dan hutan.

Tidak terlalu sulit untuk melacak bahwa si miskin itu adalah keluarga, saudara dan tetangga sekitar kita, sesama muslim. Inilah keprihatinan yang semestinya bisa diperjuangkan secara bersama-sama, jihad ekonomi.

Padahal dari sisi ajaran, Islam jelas meminta kepada pemeluknya untuk berani memberantas kemiskinan. Khalifah Ali bahkan sampai mengatakan, “jika kemiskinan itu berbentuk manusia, akan kubunuh dia,” Katanya. pernyataan Sayidina Ali tersebut sangat tegas sebagai motivasi untuk melawan kemiskinan.

Sementara Al-quran malah memberi label “pendusta agama” kepada mereka yang kaya dan berkecukupan tapi enggan membantu orang miskin dan anak yatim.

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 177 Allah berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabinabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya);
dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Memang, masyarakat Muslim saat ini baik di tanah air maupun dunia, sedang dihadapkan pada ketidakadilan dalam soal akses terhadap ekonomi. Kekayaan hanya berputar di kalangan tertentu saja yang sudah sangat kaya dan memiliki akses ekonomi luas. Sementara sebagian besar masyarakat justeru hidup dalam cengkeraman kemelaratan yang seolah tak berkesudahan.

Inilah saatnya umat Islam kembali hadir berkiprah dalam soal kesejahteraan umat. Isu pemberdayaan ekonomi, keadilan sosial, jiwa wirausaha muslim, harus makin digencarkan lagi untuk memberikan kesadaran dan motivasi. Sementara isu-isu parsial yang hanya memecahbelah umat selayaknya ditinggalkan, seperti radikalisme, Islam tradisional, Islam Modern, cadar atau celana cingkrang. Umat Islam harus menatap takdirnya sebagai “khairu ummat” umat terbaik, bukan saja dari sisi ajaran tapi juga penerapan di bidang sosial dan ekonomi, yang membawa kesejahteraan bagi seluruha manusia.

(IMF/foto:okezone)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *