[JAKARTA, MASJIDUNA]—Rancangan Undang-undang Pesantren rencananya akan disahkan pada akhir masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019. Namun, sejumlah ormas Islam menyatakan keberatan dan menolak RUU ini disahkan.
Hal itu terlihat dari Surat PP Muhammadiyah kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo tertanggal 17 September 2019. Dalam surat berkop Muhammadiyah itu, disertakan pula 10 Ormas yang menolak, yaitu Persyarikatan Muhammadiyah,Aisyiyah, Al Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Persatuan Islam (Persis), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Nahdlatul Wathan (NW), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) dan Pondok Pesantren Darunnajah.
Salah satu keberatannya adalah karena berpotensi memunculkan tuntutan peraturan perundang-undangan yang sejenis dari pemeluk selain Islam. Dan apabila tidak dipenuhi dapat menimbulkan pertentangan dan perpecahan dalam kehidupan masyarakat yang dapat berujung pada terjadinya disintegrasi bangsa.
Disebutkan pula, bahwa dalam RUU Pesantren hanya mengakomodir pesantren berbasis kitab kuning dan dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin, dan belum mengakomodir keberagaman pesantren sesuai tuntutan pertumbuhan dan perkembangan pesantren.
RUU Pesantren juga perlu kajian menyeluruh untuk dapat dilakukan pembahasan, dengan menyusun ulang Naskah Akademik RUU Pesantren yang salah satunya mengkaji pemisahan antara pengaturan Pendidikan Keagamaan Islam dengan Pendidikan Keagamaan Katolik, Kristen, HIndu, Budha dan Konghucu.
RUU Pesantren juga dianggap sudah menyimpang dari pemikiran awal, setelah judul dan ratusan pasal dihilangkan selama proses pembahasan. “Menyebabkan RUU Pesantren ini kehilangan pijakan akademik,” begitu tercantum dalam klausul keberatan.
Dalam surat tersebut dilampirkan pula daftar hadir persetujuan bersama hasil rapat ormas-ormas Islam tentang kajian atas RUU Pesantren. Sejumlah nama yang hadir antara lain Busyro Muqoddas dari Muhammadiyah, Lili Nahrawi dari Mathlaul Anwar, Guntur Saputra dari Al Washliyah, Suyanto dari PERTI dan Zamzam Aqbid dari Persis. (IMF)