Bisri Syansuri, Ulama Fiqih Perancang UU Perkawinan

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Heboh soal konsep “Milkul Yamin” yang menjadi disertasi doktor Abdul Azis, seharusnya mengingatkan pula pada sosok KH Bisri Syansuri, perumus Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Bedanya, konsep “Milkul Yamin” yang digagas oleh ulama Syiria Muhammad Sharour — kemudian dijadikan disertasi oleh Abdul Azis– itu jelas melegalkan hubungan seks tanpa ikatan pernikahan. Sementara KH Bisri Syansuri sebaliknya, sekuat tenaga membendung sebuah rancangan undang-undang yang akan melegalkan perkawinan beda agama atau menikah dengan saudara sepersusuan, yang dalam fikih Islam masuk dalam kategori zina.

Di awal Orde Baru, ada usulan untuk membentuk UU Perkawinan. Salah satunya diusulkan oleh Kementerian Kehakiman, pada 1973. RUU tersebut terdiri atas 15 bab dan 73 pasal. Namun, RUU ini sama sekali tidak mencerminkan ketentuan perkawinan masyarakat Islam di Indonesia.

KH Bisri Syansuri, yang kala itu politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), keberatan dan menolaknya. Penolakan kyai kharismatis kelahiran Tayu, Jawa Tengah, 18 September 1886 itu, dilakukan dengan mengundang sejumlah tokoh agama dan ulama di Pesantren Mambaul Ulum, Jombang, Jawa Timur. Hanya satu yang dikerjakan: membuat draft RUU Perkawinan tandingan, yang isinya mengambil dari fiqih perkawinan Islam. Maklum, Kyai Bistri adalah ulama fiqih jempolan di kalangan nahdliyin kala itu.

Dalam Jurnal Pesantren yang terbit pada 1984, wartawan Said Budairi sempat mewawancari dan menuliskan kisah Kyai Bisri yang wafat pada 25 April 1980 itu.

“Tantangan besar pertama munculnya RUU Perkawinan yang secara keseluruhan dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum agama. Maka tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.” Demikian penggalan tulisan itu.

Setelah berhasil merumuskan RUU baru hasil rundingan dengan para ulama, RUU itu diajukan ke syuriah PBNU yang secara aklamasi menyetujuinya. Langkah selanjutnya diajukan ke Majelis Syuro PPP untuk kemudian dibawa ke DPR. Di DPR-lah, perjuangan panjang terjadi. Di luar fraksi PPP, kelompok penentang RUU ini terbilang banyak. Di dalam parlemen, fraksi nasionalis dan kristen yang paling kuat menolak.

Namun, setelah melalui lobi dan perdebatan panjang, RUU ini disahkan pada tahun 1974. “Akhirnya lahir satu Undang-undang Perkawinan RI yang tidak merusak eksistensi agama mayoritas bangsa Indonesia.” Begitu bagian akhir dari tulisan yang terbit 35 tahun silam itu. (IMF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *