Mengenal Perintis Gerakan Pendidikan Pengajian di Kauman

[JAKARTA, MASJIDUNA] —-  Anda mungkin sudah sering mendengar Kyai Haji Ahmad Dahlan. Pendiri organisasi kemasyarakatan keagamaan, Muhammadiyah. Namun bagi kalangan di luar Muhammadiyah, Anda perlu berpikir kerjas untuk mengetahui nama Siti Walidah.

Siti Walidah, lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Istri dari pendiri Muhammadiyah  itu, merupakan  anak keempat dari tujuh bersaudara. Anak dari seorang Muhammad Fadil, merupakan kyai penghulu  di keraton, hingga akhirnya Walidah bergulat dan menekuni profesi sebagai saudagar batik.

Sebagaimana dilansir dari laman aisyiyah,  Siti Walidah kecil kala itu di Kauman mendapat fasilitas pendidikan agama. Waidah Dibimbing oleh orang tuanya serta para ulama yang berada di langgar-langgar Kauman. Dikenal sebagai sosok pembelajar, kemampuan Walidah dalam berdakwah terus diasah sejak dini.

Itu sebabnya mendorongnya Walidah diberi kepercayaan dari ayahnya,  membantu mengajar di Langgar Kyai Fadhil. Dalam perjalanan hidupnya, Walidah dinikahkan dengan Muhammad Darwis. Adalah nama kecil Kyai Ahmad Dahlan yang notabene saudara sepupunya.

Pasca mendirikan Muhammadiyah pada 1912, Dia pun memberikan perhatian khusus bagi kemajuan kaum perempuan. Karenanya, Kyai Dahlan mendorong berdirinya organisasi dakwah perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah.

Walidah merupakan satu dari sekian orang yang merintis gerakan Aisyiyah. Yakni dengan memulai pendidikan berupa pengajian bagi kaum perempuan di Kauman. Kegiatan tersebut diisi dengan kursus membaca Alquran diperuntukan bagi remaja atau gadis di Kauman yang masuk sekolah netral.

Di Langgar Kyai Fadhil, Surat Al-Ma’un menjadi surat pertama yang acapkali diajarkan di pengajian tempat Walidah mengajar. Alasan menerapkan Surat Al-Ma’un yakni mengasahkepekaan muridnya untuk peka pada fenomena kemiskinan yang hampir marak dikalangan Umat Islam.

Pengajian ini semakin lama semakin berkembang merambah sampai Lempuyangan, Karangkajen, dan Pakualaman. Karena pengajian dilakukan setelah Ashar, kegiatan ini kemudian dikenal dengan Wal ‘Ashri. Pengajian juga diperuntukkan bagi para buruh batik di Kauman yang merupakan kelompok terpinggir yang sulit mengakses pendidikan.

Forum pengajian pun mengajarkan cara menulis dan membaca bagi mereka. Pengajian ini dinamakan sebagai Maghribi School sesuai dengan jam diadakannya pengajian, ba’da Shalat Magrib. Wal ‘Ashri, Maghribi School, dan Sapa Tresna menjadi cikal bakal pergerakan Muhammadiyah-‘Aisyiyah dalam memperjuangkan kesetaraan bagi setiap kelompok manusia, tanpa pandang kasta atau status sosialnya.

Singkat cerita, pengajian tempat Walidah mengajar pun menyebar hingga ke pelosok Indonesia. Hingga akhirnya, mendorong berdirinya perwakilan organisasi Aisyiyah. Waktu terus berjalan. 1927, Walidah bertandang ke Batur Jawa Tengah.

Menunggangi kuda melewati pegunungan  Dieng. Ketokohan Siti Walidah mewarnai  perkembangan organisasi ‘Aisyiyah. Jabatan president HB Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah dari tahun 1921 yang kemudian berpindah status sebagai adviseur (penasehat) ‘Aisyiyah sejak tahun 1927 pernah diembannya.

Kiprah Nyai Ahmad Dahlan dalam organisasi dengan ketokohan perempuannya memiliki pergaulan luas. Bahkan, Dia pun diundang dalam sidang Ulama Solo di Serambi Masjid Besar Keraton Surakarta, notabene pesertanya adalah kaum laki-laki.

Kiprahnya di ‘Aisyiyah terus berlangsung puluhan tahun berikutnya. Kali terakhir Walidah mengikuti kongres pada 1940 digelar di Yogykarta. Meski dalam keadaan kurang sehat, Walidah tetap hadir. Namun pada 31 Mei 1946, Walidah mangkat, menyusul sang suami, ‘sang pencerah’.

Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional pada perempuan yang dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan sepanjang hidupnya. Jasanya dalam memajukan kaum perempuan tak lekang digilas zaman. Allahumagfilaha warhamha waafihi wa’fuanha.  [redaksi]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *