[JAKARTA, MASJIDUNA-] Husain ibn Ali pernah berad di rukn al Yamani (sisi Kabah) dan berdoa: “Ya Rabb, Engkau telah anugerahkan nikmat kepadaku, tapi aku tidak mensyukurinya. Engkau timpakan musibah kepadaku, tapi aku tidak mampu bersabar dalam menyikapinya. Engkau tidak mencabut nikmat itu dariku karena aku tidak bersyukur. Engkau tidak menimpakan musibah terus menerus terhadapku karena aku tidak sabar. Ya Rabb, tidak ada Dzat yang Maha Mulia kecuali kemualiaan-Mu.”
Baca juga: Luapan Syukur Jumatan Lagi
Doa itu sebagai pengakuan seorang hamba yang banyak menerima nikmat tapi justeru tidak mensyukurinya. Ditimpa musibah tapi tidak sabar menghadapinya. Padahal, nikmat yang Allah berikan tidak terhingga. Hal itu sesuai dengan sifat Allah asy-syakur, syukur yang sangat luas. Allah memberikan balasan kepada para hamban-Nya atas kesyukurannya.
Nasaruddin Umar dalam buku Menjalani Hidup Salikin, menjelaskan hakikat syukur adalah memuji kepada yang berbuat baik dengan menyebut kebaikannnya. Allah asy-Syakur sebab Ia memuji hamba-Nya yang taat dengan mengingat ketaatan mereka. Seperti disampaikan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri” ( QS. Asy-Syura: 23).
Ada tiga macam bentuk syukur. Pertama syukur dengan lisan, inilah yang populer. Kedua syukur dengan hati yaitu menyadari atas apa disaksikan di bumi yang luas dan tetap konsisten menjaga kehormatan. Dan ketiga, syukur dengan aktualisasi diri seperti syukur kedua mata dengan menahan dan menghindari dari segala yang diharamkan Allah dan dari segala aib orang yang tidak halal didengar.
Syukur kedua tangan untuk tidak mengambil hak orang lain. Syukur kedua kaki dengan tidak melangkahkan ke arah kemaksiatan.
Baca juga: Kehidupan Harus Disyukuri, Jangan Meminta Kematian
Dengan menerapkan tiga tingkatan syukur itu, akan menjadi obat hati yang paling mujarab. Hampir semua penyakit bersumber dari ketidakpuasan terhadap apa yang dimiliki selama ini.
(IMF)