[JAKARTA, MASJIDUNA]– Setiap tanggal 17 Agustus masyarakat dan pemerintah merayakan Hari Kemerdekaan. Tahun ini, genap 79 tahun Indonesia merdeka. Upacara digelar, berbagai perayaan pun dihelat oleh warga.
Kemerdekaan memang dambaan setiap insan. Tapi apa makna kemerdekaan di mata Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), ulama besar yang pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu? Dalam bukunya, “Lembaga Hidup”, Hamka menjelaskan bahwa pemerintahan tidak akan memiliki tujuan bila tidak memiliki dua perkara yaitu pertama kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri, memilih mana yang mereka rasa memberi manfaat.
Baca juga: Obrolan Buya Hamka dan Yunus Yahya soal Khong Hu Chu dan Islam
Kedua, supaya pemerintah mengusahakan pembangunan yang tidak sanggup dilaksanakan anggota masyarakat secara pribadi.
Untuk yang pertama, katya Hamka, kemerdekaan yang dianugerahkan masyarakat kepada tiap-tiap diri terbagi dua bagian. Pertama, kemerdekaan diri. Yaitu orang tidak terhambat haknya untuk melakukan apapun. Masyarakat tidak boleh dihambat untuk bepergian kemanapun, tidak ada rasa waswas dan khawatir ada yang menangkap, menghalangi atau memenjarakan tindakannya. “Jadi tidak ada yang berhak merampas kemerdekaan orang; memenjarakannya tanpa sebab salah.
Kedua, kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir tidak boleh dihalang-halangi. “Karena berpikir adalah keutamaan manusia yang utama, bahkan pikiran itulah yang membedakan manusia dan binatang,” katanya.
Ditambahkan, dengan berpikir itulah maka manusia menemukan kemanusiaannya yang membawa masyatakat pada kemajuan. Dari kemerdekaan berpikir itulah maka ada kemerdekaan dalam bekerja.
Baca juga: Melihat Hamka dalam Film
Buku Lembaga Hidup ini ditulis pada 1941, empat tahun sebelum Indonesi merdeka. Meski demikian, Hamka sudah menebarkan ide-ide tentang kemerdekaan yang hingga kini masih relevan untuk bahan renungan.
(IMF)