Zikir Vs Celaka: Kisah Pameo Wali Allah

Oleh Noryamin Aini (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Celaka (woe or harm, English) adalah pengalaman buruk karena kesalahan sendiri. Sedangkan petaka (disaster) adalah bencana. Keduanya adalah takdir Allah. Bedanya, jika petaka adalah efek dari peristiwa di luar kesalahan sendiri, sedangkan, celaka adalah hasil buruk dari blunder kecerobohan kesadaran korbannya.

Celaka adalah efek kelalaian. Alias, ia adalah buah kealpaan, atau kecerobohan. Tabrakan saat berkendaraan adalah efek lalai saat mengemudi kendaraan. Kegagalan tes-ujian adalah akibat lalai dalam persiapan atau pelaksanaannya. Sakit, terkapar nyaris mati, adalah dampak lalai dari disiplin merawat kesehatan; ceroboh mengontrol porsi dan menu kuliner, dan lalai berolahraga. Banyak contoh celaka lain yang dapat disebutkan sebagai efek negatif kelalaian.

Sahabat!

Dalam tradisi sufistik, lalai disebut ghaflah (arabic); yaitu suasana qalbu yang nir, hampa kesadaran mengingat Allah. Lalai adalah kondisi qalbu yang mengesampingkan keagungan, superioritas signifikansi Allah dari teras singgasana kesadaran seorang hamba. Dengan kata lain, ghaflah adalah entitas qalbu di seberang zikir. Imam al-Ghazali (w. 14 Jumadi l-Akhir 505 H) menyebut ghaflah sebagai suasana qalbu yang terlena oleh buaian pesona duniawi. Ghaflah adalah efek bias silau godaan pesona dan kenikmatan sesaat.

Khazanah sufistik menyebutkan bahwa sumber dosa, maksiat, dan celaka adalah ghaflah. Intinya, efek buruk ghaflah sungguh luar biasa dalam dinamika hidup seorang hamba. Umpama, tidak rajin ibadah adalah efek ghaflah mengingat Allah. Tidak khusyu dalam beribadah juga adalah efek ghaflah yang lalai menghadirkan rasa “ihsan” dan kesadaran “muraqabah” bahwa Allah mengawasi setiap getar qalbu dan gerak tubuh kita. Perbuatan buruk lainnya, astaghfirullah, juga, adalah efek ghaflah karena qalbu lalai menghadirkan rasa malu (al-hayā) dan takut (al-khawf) kepada Allah.

Ada kisah rakyat (folklore) tentang ghaflah yang berujung celaka dalam khazanah sufistik. Bagi warga Banjar, Guru Sekumpul, wali Allah, Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari, dikenal memiliki karamah. Beliau wafat 10 Agustus 2005, (5 Rajab 1426 H), pada usia 63 tahun. Setiap acara haul beliau, ratusan ribu umat Islam ikut syahdu mengikutinya. Ada isak tangis dalam pergumulan qalbu peserta haul yang merasa disapa oleh ruh Guru Sekumpul.

Guru Sekumpul, dikisahkan, gemar berburu. Suatu hari, beliau ditemani sejumlah tentara pemburu ulung, sniper, jago tembak, yang ikut berburu. Target buruannya adalah unggas liar yang masih banyak ditemukan di persawahan dan/atau hinggap di ranting pohon.

Nasib baik menggelayut di takdir tim pemburu. Banyak burung sedang beristirahat di ranting pohon. Saat sasaran sejumlah burung yang menjadi target tembak ditemukan, tentara pemburu bergantian menembaknya. Namun, aneh, tidak ada satu tembakan tentara yang mengenai burung. Karena beberapa kali gagal menembak sasaran, seorang tentara akhirnya mempersilahkan Guru Sekumpul membidik dan menembak sasaran.

“Dor” terdengar letusan senapan angin. Seekor burung jatuh terkapar, terkena tembakan peluru Guru Sekumpul. Peristiwa seperti ini terus berulang terjadi, menghasilkan banyak tangkapan. Decak kagum para tentara membuat mereka “penasaran”. Akhirnya, sang komandan pemburu bertanya kepada Guru, walaupun agak sungkan. “Guru hebat” pujinya. “Bagaimana cara Guru mampu menembak seakurat itu? sampai-sampai, semua bidikan Guru tepat sasaran?” sambung sang komandan.

Guru Sekumpul tersenyum mendapat pertanyaan standar di atas. Sambil berkelakar, beliau menjawab “Kalau mau memperdaya target tembak, kita harus menunggu ia lupa mengingat Allah, saat ia tidak berzikir. Saat ia lalai (ghaflah), karena terlena mengagumi pesona dunia (saat asyik makan, saat bermain, bercengkrama, tertawa ha ha hi hi, saat kawin, atau saat terlelap tidur), kita harus beraksi cepat, tepat dan smart; kalau perlu dengan operasi senyap, rahasia. Dalam kondisi seperti ini, sasaran akan mudah diperdaya, untuk kita celakakan”.

Sahabat!

Beginilah cara unik para wali Allah mengajarkan signifikansi, makna praksis dan fungsional dari ajaran zikir dalam Islam. Dalam bahasa (narasi) al-Quran (QS: al-Ra’ad :28), zikir menenangkan (ithmi’nān) qalbu, penolak celaka, petaka, dan bala. Zikir adalah jalan kedamaian, jalan kesalamatan. Ia adalah landasan utama dan lintasan inti kebahagiaan dunia dan akhirat. Zikir adalah getar dan rambatan praksis qalbu yang menyelamatkan hidup seorang hamba.

Ilustrasi dari kisah Guru Sekumpul di atas tidak dimaksudkan menyederhanakan entitas dan mekanisme praktikal amaliah zikir. Zikir, sejatinya, adalah wujud paripurna usaha manusia menghidupkan dan mengaktifkan kesadaran (shadr=dada, arabic) qalbu. Zikir adalah olah kerja qalbu, dan ketenangan adalah kinerjanya. Pada puncak, kulminasi zikir, hanya Allah yang mewujud dan membingkai semua kesadaran dan tujuan hidup seorang hamba.

Kita hanya sering dibisikkan kalimat tazkirah bahwa efek zikir menenangkan qalbu. Tetapi, kita jarang disadarkan bahwa ghaflah, lalai, adalah lawan diametris (tanāqud, istilah ilmu Mantiq) zikir. Ghaflah qalbu mudah memperdaya kita, bahkan menyebabkan kita celaka. Iblis, setan, dan jin sukses memperdayakan, karena kita ghaflah (lalai), kosong mengingat Allah, atau kecerobohan mengamalkan aturan Allah.

Akhirnya, bagi orang beriman, opsi substansialnya bahwa untuk terbebas dari celaka dunia dan akhirat, yuk kita hidupkan dan aktifkan qalbu untuk selalu berzikir. Ingatlah! Zikir menenangkan qalbu.

[RAN/Foto: umma.id]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *