[JAKARTA, MASJIDUNA]—Di antara tokoh politik NU (Nahdlatul Ulama), nama Subhan Zaenuri Erfan ( biasa disebut Subhan ZE), tidak bisa di abaikan. Dialah sosok pimpinan NU yang sering melontarkan kritik kepada pemerintah dan juga berani melawan anasir-anasir penganggu Pancasila dan umat Islam.
Lelaki kelahiran Malang 22 Mei 1931 ini, dikenal dekat dengan anak-anak muda. Sejak peristiwa G 30 S PKI meledak, dia menjadikan rumahnya sebagai markas berkumpul anak-anak muda NU, Muhammadiyah dan Katolik untuk menolak aksi makar tersebut. Dialah penggagas Kesatuan Aksi Pengganyangan Gertapu (KAP Gestapu) yang terdiri dari tujuh partai politik dan tiga ormas. Dari aksi inilah lahir Front Pancasila dan Subhan ditunjuk sebagai ketua.
Sebelumnya pada 1964, ketika kekuatan PKI memuncak dan banyak menghabisi lawan politiknya, Subhan mendirikan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami) sebagai kekuatan tandingan terhadap PKI yang kala itu mendapatkan dukungan pemerintah. Bersama H.M Sanusi (Muhammadiyah) organisasi ini dideklarasikan di Megamendung, Bogor.
Subhan sebenarnya besar dan dididik dalam keluarga Muhammadiyah. Ayahnya H Rochlan Ismail adalah guru, pedagang dan pengurus Muhammadiyah. Sedangkan ibunya pengurus Aisyiyah. Subhan pun sekolah di Muhammadiyah.
Masuknya Subhan ke NU atas anjuran gurunya AR Sutan Mansyur (tokoh Muhammadiyah) karena menilik bakat Subhan dalam bidang politik yang mumpuni. Kala itu, Subhan bergabung dengan NU sebagai kekuatan politik pada tahun 1953, tak lama setelah ormas ini keluar dari Masyumi.
Kiprah awalnya di NU, yaitu pada muktamar NU ke 21 di Medan. Dia dipercaya menjadi Ketua Departemen Ekonomi. Pada Muktamar ke 23 di Solo dia jadi Ketua IV PBNU. Dan pada muktamar ke 24 di Bandung tahun 1968 ia jadi ketua I, jabatan tertinggi setelah tanfiziyah.
Beberapa gagasannya terbilang banyak menimbulkan kontroversi kala itu. Misalnya dia menghendaki agar struktur kepengurusan NU diisi lebih banyak oleh anak muda. Tujuannya agar NU lebih dinamis, terbuka dan ekslusif. Baginya, NU harus jadi imam, bukan makmum seperti sebelum-sebelumnya.
Berkat kepiawainya dalam menggalang masa, pada pemilu 1971, saat bertindak sebagai juru kampanye, Nu duduk di posisi kedua setelah Golkar dengan 58 kursi. Padahal sebelumnya hanya memperoleh 45 kursi. Salah satu isu yang selalu dia lontarkan adalah hak-hak partai politik. Dia tak segan mengeritik Menteri Dalam Negeri (kala itu Amir Machmud) yang lebih condong membela Golkar dan mengerdilkan partai lain. Tak heran, gayanya dalam mengeriritik membuat sebagian tokoh sepuh NU khawatir. Melalui gagasan dan kritiknya, Subhan dinilai terlalu oposan terhadap pemerintah.
Subhan meninggal dalam usia muda, pada 21 Januari 1973 dalam satu kecelakaan saat menunaikan ibadah haji di Mekah. Dia meninggal saat namanya sedang berkibar baik di NU maupun pentas nasional.
(IMF/foto: nuonline)