[JAKARTA, MASJIDUNA]—Mempergunjingkan keburukan orang lain, seolah sudah menjadi tabiat manusia. Apalagi di masa sekarang, ketika media sosial sudah menjadi kebutuhan sehar-hari, gibah menjadi tak terpisahkan.
Secara bahasa gibah berarti mengumpat, menggunjing atau memfitnah. Rasulullah melarang umatnya melakukan perbuatan tercela ini. “Jauhilah olehmu gibah, sesungguhnya gibah itu lebih berbahaya dari zina.” (HR Ibnu Hibban, Ibnu Abi ad Dunia, dan Ibnu Mardawayh).
Menafsirkan hadits tersebut Imam Ghazali memiliki pendapat. Katanya, jika seseorang berzina dan kemudian dia bertobat kepada Allah secara ikhlas dan sungguh-sungguh, maka Allah terima tobatnya. Namun pelaku gibah tidak akan diampuni sebelum meminta maaf terlebih dahulu kepada orang yang difitnahnya.
Menurut Imam Ghazali, ada delapan faktor seseorang melakukan gibah. Pertama, sebagai pelampiasan rasa dengki dan marah. Kedua, karena ingin mengambil hati orang dalam pergaulan. Ketiga, ingin menarik perhatian orang lain. Keempat, ingin menunjukkan kesucian diri dan menunjukkan kelemahan orang lain. Kelima, untuk membanggakan diri sendiri. Keenam, dengki. Ketujuh, senda gurau yang berlebihan dan kedelapan sengaja menghina dan menjelekkan orang lain.
Menurut Imam Ghazali, sifat suka gibah bukan hanya menimpa masyarakat umum tapi juga bisa menimpa para ahli agama seperti ustad atau ulama. Hal ini bisa terjadi karena, pertama rasa kagum pada seseorang yang dihormatinya, namun pada saat yang sama menyebut kejelekan orang lain. Misalnya, “Saya kagum terhadap si A, tapi sayang anaknya bodoh.” Kedua, karena rasa kasihan. Misalnya, “Saya sangat kasihan terhadap si A karena begitu miskinnya.” Ketiga karena rasa marah. Misalnya menyebut keburukan dan kejahatan seseorang, tapi bukan untuk tujuan amar ma’ruf nahyi munkar tapi karena dorongan rasa marah saja.
(IMF/foto: TILIK)