[JAKARTA, MASJIDUNA]—Memasuki era reformasi di masa Presiden BJ Habibie, Malik Fajar dilantik sebagai menteri agama. Jabatan ini diemban selama setahun (1998-1999) sependek usia pemerintahan Habibie kala itu. Nama Malik pun kemudian dikenal luas. Apalagi jarang sekali tokoh Muhammadiyah jadi menteri agama.
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan oleh Megawati, Malik duduk sebagai Menteri Pendidikan Nasional (2001-2004), posisi yang banyak ditempati oleh orang Muhammadiyah.
Posisi terakhir inilah yang sebenarnya lebih tepat, karena latar belakangnya di dunia pendidikan. Malik yang lahir di Yogyakarta 22 Pebruari 1939 itu, adalah rektor Universitas Muhammadyah Malang (UMM) dan Universiitas Muhammadiyah Surakarta dari 1983-2000.
Di Muhammadiyah, Malik jadi rujukan dalam diskusi soal pendidikan baik generasi muda atau tua. Menurut Ketua Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini, almarhum sangat perhatian pada PAUD/TK ABA yang jumlahnya sangat besar tersebar di pelosok tanah air. “Almarhum selalu berpesan agar ‘Aisyiyah merawat dan membesarkan amal usaha pendidikan dari PAUD sampai Perguruan Tinggi dengan kerja keras yang tulus tanpa banyak kata,” kata Noordjannah, mengenang Malik.
“Pesan almarhum yang juga sangat mengesankan yakni agar dakwah ‘Aisyiyah dijalankan dengan luwes dan luas sehingga bisa menjangkau umat dan bangsa secara melintas batas,” tambahnya.
Beberapa bulan sebelum meninggal, dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah 2020 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Malik berpesan bahwa Muhammadiyah di tengah-tengah pergolakan di semua aspek kehidupan terus tumbuh berkembang. “Usia 108 tahun bagi sebuah ormas bukanlah (capaian) usia yang gampang. Yang perlu digaris bawahi adalah bukan sekedar usianya yang panjang, tapi real dengan amal yang nyata,” ujarnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengenang sosok Malik Fajar sebagai tokoh Muhammadiyah banyak mengayomi yang tua maupun muda.
“Sebagai orang yang lebih muda dan banyak berinteraksi dengan Prof Malik, saya banyak belajar dari beliau. Beliau tokoh Muhammadiyah, umat Islam, dan bangsa yang bersahaja, gigih, penuh prestasi di bidang pendidikan, berpikiran maju, inklusif, dan diterima banyak pihak. Kita kehilangan tokoh besar yang dimiliki bangsa ini. Beliau lebih banyak bekerja bangun pusat keunggulan dan membawa umat untuk maju ketimbang banyak bicara. Pengabdiannya untuk bangsa sangat besar tanpa mengeluh, radius pergaulan dan pemikirannya pun melintasi,” tutur Haedar.
Tidak hanya Muhammadiyah, umat Islam Indonesia pun kehilangan sosok yang wafat pada Senin 7 September 2020 di RS Mayapada Jakarta pada pukul 19.00 ini. Rencananya almarhum akan dimakamkan selasa siang (8/9/2020) di Kalibata. Selamat jalan prof.
(IMF/foto:muhammadiyah)