Ramadhan Penyelamat Krisis

Oleh: Aay Mohamad Furkon (Wakil Sekretaris Umum PP PERSIS)

Virus corona yang berasal dari Wuhan, Cina, yang kemudian dikenal dengan Covid-19 tidak hanya mejadi penyebab krisis kesehatan, namun juga telah menjelma menjadi penyebab krisis ekonomi, tak menutup kemungkinan bahkan, menjadi krisis sosial dan krisis politik. Krisis kesehatan yang menuju ke arah krisis politik untuk sementara waktu bagi bangsa Indonesia masih terselamatkan oleh bulan Ramadhan.

Sekurang-kurangnya ada empat penyelamatan yang terjadi oleh bulan Ramadhan bagi bangsa Indonesia untuk tidak segera masuk pada krisis berikutnya. Pertama, bulan Ramadhan memberikan pahala yang berlimpah bagi kaum muslimin yang bersedekah, berinfaq dan menunaikan zakat. Nilai-nilai spiritual ramadhan bertemu dengan realitas sosial, dimana masyarakat banyak yang terkena PHK, sulit bekerja, pengangguran meningkat dan tahanan kriminal dibebaskan. Hal inilah yang menjadi pendorong kaum muslimin di bulan ramadhan untuk bersedekah, berinfaq dan berzakat. Sehingga ‘kekurangan pangan’dan janji pemerintah yang akan memberikan bantuan sosial berupa pangan, namun tak kunjung datang, untuk sementara waktu dapat teratasi dengan banyaknya orang bersodakoh, berifaq dan berzakat.

Kedua, di tengah berkurangnya pemasukan (income) bagi masyarakat, namun tingkat konsumsi juga berkurang. Shaum ramadhan secara kasat mata jelas mengurangi konsumsi masyarakat, yang tadinya makan sehari 3 kali berubah menjadi 2 kali, dengan demikian tingkat konsumsi secara nasional juga berkurang. Hal ini untuk sementara waktu dapat mengurangi beban negara dalam memfasilitasi penyediaan pangan melalui transportasi pada saat pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Ketiga, ramadhan mengendalikan psikologi marah masyarakat. Akibat langsung yang dirasakan dari krisis kesehatan ini adalah krisis perekonomian. Nyaris semua pusat perbelanjaan, pabrik-pabrik dan kantor-kantor tutup. Tak hanya tutup, namun sebagian pabrik dan pusat perbelanjaan memPHK karyawannya. Akibatnya tak dapat dihindari angka pengangguran melonjak tinggi.

Demikian juga dengan masyarakat yang bergerak di sektor ekonomi informal, yang mengandalkan penghasilan harian, seperti pedagang keliling, pekerja bangunan, supir angkot dll. tak dapat bekerja normal yang berakibat tak mendapatkan penghasilan.

Sementara janji dari pemerintah tak kunjung datang, kalaupun datang bantuan tersebut salah alamat. Orang yang mampu mendapatkan bantuan, sementara yang seharusnya mendapat bantuan tak mendapatkan bantuan. Semrawutnya data tidak hanya membingungkan masyarakat, namun menjadi tontonan bagaimana para elit politik silang pendapat tentang perbedaan data di muka publik.

Tak hanya itu, ketika masyarakat diminta untuk tetap di rumah sampai beribadah wajibpun di rumah seperti shalat Jum’at juga shalat sunah taraweh, namun tiba-tiba masyarakat menyaksikan bergerombolnya calon penumpang pesawat di Bandara dan juga dibukanya beberapa pertokoan besar lainnya.

Hal ini sesungguhnya membuat sebagian besar masyarakat marah luar biasa, namun lagi-lagi ramadhan mengambil peran yang ampuh yaitu mereka yang melaksanakan shaum, harus bisa mengendalikan amarah. Jika tidak, maka shaum yang dilakukan hanya akan melahirkan kesia-siaan belaka. Demi shaum yang sakral, sementara waktu kemarahan dapat ditahan.

Terakhir, ramadhan mengajarkan solidaritas lapar sosial. Kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh krisis kesehatan sesungguhnya membawa rasa solidaritas sosial yang sama. Bagi sebagian kalangan yang terdampak langsung maupun yang tidak langsung, kesulitan ekonomi dengan tidak adanya pemasukan uang, harus dapat mengatur bagaimana mengelola uang agar tidak lapar.

Rasa lapar yang dirasakan oleh sebagian masyarakat sebenarnya membawa kemarahan yang amat luar biasa. Dengan rasa lapar, orang dapat gelap mata untuk melakukan tindakan kriminal. Dapat kita saksikan perbuatan kriminal, tidak hanya mencuri, menjambret, mencopet namun dibarengi dengan pembunuhan yang sangat kejam di depan khalayak ramai, selama masa PSBB semakin meningkat.

Namun bagi sebagian masyarakat yang sudah marah, dapat meredam kemarahannya dengan melihat sesama tetangga dan saudara yang sama-sama lapar. Terasa malu untuk menggerutu, apalagi melakukan tindakan kriminal, kalau hanya karena alasan lapar. Sebab yang merasakan lapar di bulan ramadhan bukan hanya orang tidak mampu, namun orang yang mampu sekalipun, sama juga merasakan lapar. Karena itu, ramadhan kembali memberikan penyelamatan berupa solidaritas rasa lapar.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan krisis kesehatan yang berdampak pada krisis ekonomi sementara waktu masih bisa terselamatkan oleh ramadhan. Masyarakat masih mau bersedekah, berinfaq dan berzakat, menahan rasa marah, dan terbangunnya rasa solidaritas lapar bersama. Namun jika penanganan civid 19 ini tidak tercermat, maka tak menutup kemungkinan krisis kesehatan akan berdampak tidak hanya pada ekonomi, namun juga pada krisis sosial dan politik.

Semoga Allah menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterpurukan lebih jauh.

Jakarta, Rabu, 27 Ramadhan 1441/20 Mei 2020

(IMF/foto: persis.or.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *