[JAKARTA, MASJIDUNA]—Seminar dua hari untuk menyelematkan hutan tropis Indonesia itu berakhir dengan deklarasi lintas agama, Jumat (31/1/2020). Para tokoh agama yang ada di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu) dan masyarakat adat sepakat untuk ikut dalam penyelamatan hutan tropis Indonesia, yang kerusakannya sudah sangat parah. Karena itu, para pemuka agama menyatakan akan berdiri bersama siapapun yang menyelamatkan hutan. “Kami menyatakan berdiri bersama dalam solidaritas dengan masyarakat adat dan siapapun yang melindungi dan melestarikan hutan, untuk mendapat perlindungan dari ancaman intimidasi serta kekerasan. Kami akan selalu berpihak kepada mereka yang membela kelestarian hutan tropis dan ekosistemnya.” Demikian bunyi salah satu point dalam deklarasi tersebut.
Di balik keberhasilan deklarasi ini, ada seorang perempuan yang perannya terbilang cukup menonjol yaitu Nana Firman. Lulusan Universitas Bridgeport, Amerika Serikat, ini menjabat sebagai Muslim Outreach Director GreenFaith, sebuah organisasi penyelematan dan pelestarian lingkungan dengan berbasiskan nilai etik agama-agama di dunia yang berkantor di Highland Park, New York, Amerika Serikat.
Saat berbincang dengan MASJIDUNA, Nana menceritakan bahwa agama punya peran sangat penting dalam melestarikan dan menjaga lingkungan hidup. “Ketika Umroh dan haji misalnya, ada larangan untuk tidak boleh merusak lingkungan,” ujarnya. Hal itu merupakan ajaran moral yang semestinya berlaku juga dalam kehidupan sehari-hari di luar haji dan umroh. “Kenapa sepulang haji dan umroh kita jadi lupa ajaran itu?’ tanyanya.
Nana juga menyampaikan pesan-pesan pelestarian lingkungan dengan menggunakan terminologi agama. Ketika turut dalam pemulihan Aceh pasca tsunami, kepada para juru dakwah dia menyampaikan tentang larangan menebang kayu di hutan. Penebangan kayu bisa menyebabkan kerusakan. “Penebangan kayu itu jadi haram hukumnya,” katanya. Dan ternyata menyampaikan pesan lingkungan dengan pendekatan agama bisa diterima. Dampaknya, cukup banyak penceramah agama pasca tsunami yang berdakwah mengangkat tema pelestarian alam. Terlebih, dalam Islam banyak ayat dan hadits pentingnya menjaga lingkungan.
Karena perannya tersebut, sebuah majalah lingkungan di Amerika Serikat “Green America” pernah mewawancarainya. Menurut Nana, sepanjang majalah itu berdiri baru pertama kali mewawancarai seorang muslim. “Setahun kemudian saya pun diajak bergabung dalam board,” katanya.
Bergerak pada isu lingkungan memang bukan baru pertama. Jejak aktivitasnya selalu berhubungan dengan penyelamatan lingkungan mulai dari organisasi WWF (World Wildlife Fund) selama empat tahun (2005-2009), lalu saat tsunami Aceh (2004) ikut terlibat dalam recovery. Tak berhenti sampai di sana, Nana juga terlibat dalam kegiatan Urban Climate Change.
Aktivitas pelestarian lingkungan itu pula yang membuatnya pada 2012 hijrah ke Amerika Serikat dan terlibat komunitas pelestarian alam di San Diego. Sebagai bagian dari warga muslim yang ada di Amerika, Nana tak berdiam diri. Dia pun bergabung dalam komunitas eco-life Muslim Amerika yang di dalamnya terdapat program masjid ramah lingkungan (Green Mosque Committee for the Islamic Society of North America atau ISNA.
Selama di negeri Paman Sam ini, Nana pernah mengajak para tokoh Islam Amerika untuk mendeklarasikan tentang perubahan iklim yang salah satu tujuannya adalah meminta kepada masyarakat muslim dunia untuk memulai transisi dari bahan bakar fosil ke energi ramah lingkungan.
Rupanya Gedung Putih kepincut dengan segala aktivitasnya yang konsisten pada penyelamatan lingkungannya dan menunjukknya sebagai bagian dalam kampanye perubahan iklim bagi para pemuka agama pada 2015 silam.
Kini Nana bermukim di California bersama suaminya, Jamal Ali, pensiunan angkatan Udara Amerika serikat. Aktivitasnya yang padat membuatnya harus bolak-balik antara Amerika Serikat dan beberapa negara lain. “Kebetulan di Indonesia belum ada kantornya,”ujar Nana.
(IMF/foto:Nana Firman)