[SUMENEP, MASJIDUNA]—Istilah “Madura-Tionghoa” mungkin kurang familiar di telinga banyak orang. Berbeda dengan “Tionghoa-Betawi” atau “Tionghoa-Jawa” yang sudah sangat lazim. Bahkan, sejarawan sekaliber Ong Hok Ham sekalipun perlu datang untuk meneliti keberadaan Tionghoa asal Pulau Garam ini.
Dalam buku “Riwayah Tionghoa Peranakan di Jawa” dosen Universitas Indonesia (UI) yang kini sudah almarhum itu, membuat catatan khusus tentang asimilasi Tionghoa dan Madura yang mayoritas Islam. Artikel itu ditulis setelah menemani seorang sosiolog Dr GW Skinner pada tahun 1950-an.
Di Sumenep, kata Ong, orang Tionghoa sudah melebur jadi orang Madura dan Islam.”Kota Sumenep sendiri menunjukkan pengaruh Tionghoa yang besar,” tulisnya. Salah satu peninggalan yang hingga kini masih terjaga baik adalah Masjid Agung Sumenep dengan arsitektur yang indah. Menurut penelitian Ong, masjid tersebut dibangun oleh tangan-tangan terampil orang Tionghoa. Hal itu bisa dilihat dari dekorasi pintu masjid. Bagaimana bisa terjadi? Mengapa masjid itu tidak dibuat mengacu pada bangunan Timur Tengah atau khas Madura? “Pada suatu waktu tukang Tionghoa itu mengikuti institusi ketionghoaannya. Dan hasilnya setengah Tionghoa dan setengah Madura,” tulis Ong.
Kisah datangnya orang Tionghoa ke Madura terbenteng hingga abad ke-18, ketika Sumenep diperintah oleh Panembahan Notokoesoemo I. Panembahan ini dikenal sebagai sosok berpengetahuan luas hingga mengenal bahasa Kawi. Bahkan Raffles yang menulis “History of Java” banyak mendapat bantuan dari sosok ini.
Nah, Panembahan Notokoesoemo I inilah yang memanggil para tukang Tionghoa untuk membangun keraton dan masjdi yang tetap kokoh sampai sekarang. Nampak sekali tangan-tangan terampil itu pada kedua bangunan bersejarah tersebut.
(IMF/foto: kontraktorkubahmasjid)