[JAKARTA, MASJIDUNA]—Sosok Hamka sebagai ulama besar tidak diragukan lagi di tanah air. Meski banyak yang tidak pernah melihat langsung (Hamka meninggal pada 1981) , namun banyak yang mengenangnya lewat tulisan-tulisannya, seperti novel “Tenggelamnya Kapal Van Derwijk”, atau Tafsir Al-Azhar 30 jilid dan banyak karya tulis lainnya.
Bila dibaca, tampak sekali keluasan ilmu ulama asal tanah Minang ini. Dia tidak saja memiliki pengetahuan tentang agama tapi juga seni.
Dalam sebuah bukunya, “Di Lembah Sungai Nil”, Hamka menuliskan kritik film dan seni. Kala itu, tahun 1951, Hamka berkunjung ke Mesir sebagai anggota “Lembaga Kebudayaan Indonesia”.
Menurut Hamka, film-film Mesir pada tahun tersebut mutunya sudah merosot jauh. Padahal dari sisi teknologi, film mesir tergolong maju. “‘Teknik film sudah mulai tinggi. Ketika saya di Kairo, telah keluar film berwarna yang pertama bernama “Papa Ariis” (Papa Jadi penganten),”tulis Hamka dalam buku tersebut.
Namun, film Mesir saat Hamka berkunjung itu dianggapnya tidak lebih dari tontonan tari, demonstrasi paha dan pusat dan menggoyangkan perut. Dan film-film tersebut disebarkan ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia (sekitar tahun 1937).
Di Indonesia, kata Hamka, banyak orang tidak suka menonton film Eropa karena dianggapnya tidak sesuai adat ketimuran. karena itulah, film Mesir membanjiri karena dinilai “film Islami”. Tapi alangkah kecewanya, karena film Mesir pun tidak kalah buruknya.
Banyak kritikus film tanah air pun, kata Hamka, menilai buruk film-film Mesir tersebut. Sebagai ulama dan anggota lembaga kebudayaan, Hamka berkirim surat ke pemerintah Mesir melalui perwakilan di KBRI. Tapi surat itu “hujan jatuh di daun,” katanya.
Dalam suratnya, Hamka meminta agar Mesir sebagai pusat kebangkita Islam memperbaiki kualitas film-filmnya.
Nyanyi dan tari, kata Hamka, memang tak bisa dipisahkan dari budaya kerajaan anak-anak Sungai Nil. Tapi bukan yang cabul. “Di negeri sendiri ada tari-tarian dan nyanyian pusaka yang indah, yang tidak cabul tetapi bayangan dari kemurnian jiwa bangsaku. Ada Srimpi, Legong, Tari Pasemah, Tari Lampong, Monortor dari Tapanuli…”kata Hamka, seraya menambahkan ketika di Deli dia teringat pada nyanyian ronggeng Melayu yang halus diiringkan dengan gendang dan biola sambil bernyanyi:
“Sini gunong sanapun gunong
tengah-tengah bunga melati
sini bingong sana pun bingong
sama-sama menahan hati”