Ponpes Wali Sanga, Kemandirian di Kaki Gunung Meja

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Di bawah kaki Gunung Meja, Ende Selatan, Pulau Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Pondok Pesantren Wali Sanga berdiri memberikan harapan kepada para santri yang menuntut ilmu.

Ada sekitar 228 santri yang dititipkan orang tuanya ke sana. “Sebagian besar berasal dari keluarga miskin. Mereka belajar gratis,” kata Ketua Yayasan Wali Sanga Halimah Sadiyah, saat berbincang dengan MASJIDUNA, Jumat (15/11/2019) saat ikut berpameran di acara Indonesia Sharia Economic Festival di Jakarta Convention Centre (JCC).

Para santri yang berasal dari beberapa kabupaten di Ende seperti Maumere, Adonara dan Bajawa sebagian besar juga mualaf. Di Pesantren yang didirikan sejak 1981 itu, santri bukan hanya dididik dalam pendidikan agama tapi juga kemandirian dan peningkatan ekonomi. Salah satunya dengan menjual kain tenun khas NTT. Kebetulan di lingkungan sekitar pondok, ada 10 rumah yang ibu-ibunya berprofesi sampingan sebagai penenun. “Jadi, para santri belajar menenun di sana. Dan ibu-ibu boleh menjual hasil tenunanya di pondok,” kata Halimah.

Menurut Halimah, yang merupakan anak keempat pendiri pondok yaitu almarhum Mahmud E.K, lahan sekitar pondok memang kurang subur untuk ditanami, sehingga aktivitas pemberdayaan ekonomi lebih banyak pada kain tenun dan wisata. Tak lama lagi, kawasan Gunung Meja akan dibuka sebagai destinasi wisata. “Jalanan sudah bagus, listrik juga sudah masuk karena pondok Wali Sanga,” kata Halimah.

Memang, akses air bersih masih sangat sulit. Karena berada di ketinggian, untuk mendapatkan air tanah harus mengebor sampai 100 meter lebih.

Namun di tengah keterbatasan itu, peningkatan ekonomi pondok dengan melibatkan santri dan masyarakat sekitar menjadi fokus selama ini. “Sejak bangun sehabis subuh, para santri sudah diajarkan mandiri. Santri yang masih anak-anak belajar menyapu,” jelasnya.

Para santri juga diajarkan membuat batako, pavin, usaha perbengkelan dan kain tenun.

Bila sudah dianggap mampu atau lulus, sebelum dikembalikan ke masyarakat atau orang tuanya, para santri harus mengabdi. Salah satu bentuk pengabdian, selain berdakwah juga ikut memberikan pemberdayaan ekonomi pesantren.

Pesantren seluas 12 hektar ini, seperti mata air kehidupan warga sekitar yang rata-rata berada dalam lingkungan keluarga kurang mampu. Namun, semangat terus menyala. Mungkin karena itulah pesantren ini diberi nama “Wali Sanga”, dengan mengambil semangat para wali yang menyebarkan Islam secara damai.

“Almarhum Haji Mahmud E.K memang pernah belajar di beberapa pesantren di Jawa,” ujar Halimah. Rata-rata pesantren di Jawa memang meninggalkan jejak warisan para wali yang cinta damai dan teguh dalam berjuang. (IMF, foto: masjiduna.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *