Di Azerbaijan, Din Syamsuddin Paparkan Bahaya Radikalisme Liberal

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Ketua Dewan Pertimbangan MUI (Majelis Ulama I ndonesia) Prof. Din Syamsuddin berada di Baku, Azerbaijan pada 12-14 November untuk menghadiri “The 2nd Baku Summit of World Religious Leaders” (Pertemuan Puncak Para Tokoh Agama Dunia Baku Kedua).

Pertemuan Puncak Pertama berlangsung pada 2016 di kota yg sama. Pertemuan Puncak Kedua, yang dihadiri sekitar 200 tokoh berbagai agama dunia, dibuka Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyef, di Baku Convention Centre yg megah.

Dalam presentasinya Din menegaskan bahwa radikalisme dan ekstrimisme, apalagi dalam bentuk kekerasan (violent extreemism) adalah berbahaya dan bersifat anti kemanusiaan.

Namun, radikalisme dan ekstrimisme tidak hanya bersifat keagamaan (religious radicalism) tapi juga bersifat non keagamaan seperti radikalisme sekuler (secular radicalism).

“Bahkan yang terakhir jika bercampur dengan kebebasan sehingga menjadi radikalisme sekuler-liberal menjadi lebih berbahaya karena sering merasuk ke dalam sistem kehidupan nasional seperti politik dan ekonomi,”katanya.

Radikalisme sekuler-liberal yang merasuki sistem politik dan ekonomi sesuatu negara akan membuat negara itu rusak bahkan runtuh, serta akan meninggalkan ideologi negara yg ada. Menurut Din, inilah yang dewasa ini menjadi fenomena di beberapa negara.

Radikalisme sekuler-liberal masuk perlahan-lahan ke dalam sistem nasional sesuatu negara dan bahkan diadopsi sebagai sistem aktual dan operasional. Celakanya, banyak elit politik tidak menyadari, bahkan terbawa arus mengembangkan isu ancaman radikalisme agama, sementara mereka tengah mengancam eksistensi negara mereka sendiri. Para elit politik demikian biasanya memberi penafsiran subyektif-manipulatif terhadap ideologi nasional dan menjadikannya sebagai amunisi utk menyerang pihak lain atas dasar klaim monopolistik terhadap ideologi nasional tersebut.

Dalam kesempatan tersebut, mantan Ketua Umum PP MUhammadiyah itu mengajak kepada para tokoh agama dunia untuk mengawal negara-bangsa di mana mereka berada.

Agama harus menjadi pemecah masalah kebangsaan (problem solver), bukan menjadi bagian dari masalah (part of the problem), apalagi menjadi pencipta masalah (problem maker)). Oleh karena itu agama-agama harus mampu menampilkan paradigma etik bagi pembangunan nasional agar pembangunan tidak salah arah dan hilang mutiara moral. Jika itu terjadi, maka peradaban akan berubah menjadi kebiadaban.

Dari Indonesia, selain Din, juga hadir Anggia Ermarini, Ketua Umum PP Fatayat NU yg juga anggota DPR-RI.

Pada pertemuan itu dibahas sejumlah isu yang menjadi tantangan penciptaan perdamaian dunia, antara lain multikulturalisme, ekstrimisme, Islamofobia, Kristenofobia, Anti Semitisme, dan ujaran kebencian. (IMF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *