[YOGYAKARTA, MASJIDUNA] — Adanya perbedaan metode dalam penentuan awal bulan hijriyah menjadikan kalangan muslim kerap tidak sama dalam menunaikan ibadah puasa, shalat dan lainnya. Karenanya diperlukan kesepakatan soal metode ilmu falak.
Demikian disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam pertemuan pakar falak negara anggota (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) di Yogyakarta, Rabu (3/10).
“Persoalan-persoalan yang terkait ilmu falak, dalam Islam sangat penting karena terkait penunaian ibadah, seperti shalat, puasa, dan lainnya,” ujarnya.
Menurutnya, manfaat ilmu falak mesti mengejawantah dalam rangka menunaikan kewajiban keagamaan. Dia berpandangan, metode yang berkembang seperti ru’yatul hilal dan wujudul hilal.
Bahkan ada pula yang berupaya menggabungkan keduanya dengan imkanur-ru’yah. Terkadang, kata Lukman, perbedaan metode ini juga menghasilkan perbedaan hasil penentuan awal bulan. Sehingga, ada kalanya umat Islam memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan secara tidak bersamaan.
“Saya harap para pakar yang hadir dapat menemukan kesepakatan terkait penentuan awal bulan Hijriyah sehingga bisa dijadikan pedoman bersama demi terbangunnya kemaslahatan umat,” pungkasnya.
Perlu diketahui, pertemuan denan tema ‘Perkembangan Visibilitas Hilal Dalam Perspektif Sains dan Fikih’, ini berlangsung 3 hari. Sejak 8-10 Oktober 2019. Kegiatan ini diikuti 70 pakar falak, terdiri atas Delegasi Negara MABIMS, Ormas Islam, Lembaga Falakiyah Kemenag, Pusat Kajian Astronomi, dan Akademisi.
[AHR/Kemenag]