[REMBANG, MASJIDUNA]— Peringatan 40 hari meninggalnya Kyai Haji Maimoen Zubair alias Mbah Moen diadakan di Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin, Rembang, Kamis malam (12/9/2019). Hadir sejumlah tokoh. Salah satunya adalah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang datang untuk membacakan puisi khusus buat Mbah Moen. Berikut puisi yang diberi judul “Suatu Selasa di Mekah”:
Suatu Selasa di Mekkah
Mekkah mendung
Ada rintik hujan
Mentari bak rembulan
Selamat jalan Mbah Maimoen
Mbah Moen,
Ungkapan pendek itu seketika kutulis, saat merasakan kota Mekkah berubah drastis. Aku tak sanggup berpanjang kata menyaksikan kota suci yang tetiba gerimis.
Pada 6 Agustus 2019 lalu, Mekkah memang terasa berbeda di hari Selasa itu. Matahari nampak berwajah sendu, nyaris seperti bulan di langit kelabu. Hujan berintik-rintik dari awan yang meneteskan air mata pilu.
Ya, Selasa itu memang tak biasa. Mekkah yang sedang disesaki para peziarah dari berbagai negeri, mendadak seperti terasa sunyi. Kota suci yang sehari-hari menyengat sejak pagi, tiba-tiba beringsut mendinginkan diri. Suhu udara turun 10 derajat hingga terasa lebih nyaman tentram. Awan yang menggayuti sang surya telah mengubah suasana terang jadi temaram.
Alam seakan berbelasungkawa, ketika Panjenengan pergi selama-lamanya. Pada Selasa, sejak pagi buta, semesta pun berduka, bagai turut kehilangan nyawa. Gejala alam seolah mengiyakan selarik kalimat pendek penuh makna: mautul alim, mautul alam, kematian seorang alim adalah kematian jagat raya.
Mbah Moen,
Terasa sekali, bukan hanya kami, yang menangis saat seorang alim seperti Panjenengan meninggalkan dunia yang fana ini. Seantero negeri juga bersedih ditinggalkan Jenengan yang telah pamit dari bumi. Tersebab, kepergian itu telah membawa serta berjuta ilmu ikut mengangkasa bersamamu wahai ulama pengayom kami.
Kehilangan Panjenengan sama artinya dengan lenyapnya teladan yang tiada ternilai bagi kami, para santri, dan semua anak-anak Ibu Pertiwi. Tak nampak lagi figur yang tiada lelah mendorong warga bangsa untuk tetap dan terus selamat. Tak terlihat lagi sosok yang setia menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan penuh semangat. Entah di mana lagi dapat menemui tokoh yang menyejukkan hati, di tengah kompetisi dan kontestasi hidup yang kian keras yang bisa mengoyak integrasi persatuan anak negeri. Kami begitu kehilangan panutan lembut bersahaja, yang kerap menjadi pengingat bagi siapa saja yang lupa.
Mbah Moen,
Setiap detik terasa berjalan cepat pada Selasa itu di Mekkah. Proses pengurusan jenazah yang biasanya bertele-tele susah, ternyata begitu lancar dan mudah. Ambulans pengantar jenazah, menyibak jalanan kota tanpa masalah. Masjidil Haram pun terbuka lebar bagi ratusan ribu jemaahnya sebagai tempat jenazah disalatkan. Begitu pula di Kantor Urusan Haji Indonesia Daker Mekkah, tempat jenazah disemayamkan, pelayat silih berganti berdatangan untuk mensalatkan dan mendoakan. Pergerakan jam dari Subuh hingga jelang Dhuhur seperti hanya dalam hitungan menit karena saking terasa singkatnya.
Sang waktu seolah mengerti bahwa Panjenengan ingin segera sampai di pekuburan Ma’la untuk berbaring tenang di dekat Sayyidah Khadijah Al-Kubra, yang kasidahnya sering Jenengan dendangkan. Berdekatan dengan makam ulama-ulama terkemuka Nusantara seperti Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Khatib Minangkabau, dan Syaikh Amin Al-Quthbi Lombok. Tidak jauh dari tempat peristirahatan ulama besar asli Mekkah, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.
Jenengan seolah ingin menuntaskan hayat di hari yang sempurna. Hari Selasa, begitu Jenengan pernah ungkapkan dalam suatu pengajian, adalah hari penyempurnaan. Hari ketika Allah SWT menyempurnakan pembuatan bumi dengan menggunakan ilmu. Saat Allah menciptakan segala ilmu di dunia. Hari yang disunnahkan untuk berbekam demi tercapainya sehat wal afiat sebagai penanda kesempurnaan jasmani.
Panjenengan selalu merindukan Selasa, sehingga tak bosan menyampaikan keutamaannya. Jenengan mengutamakan Selasa, sehingga tak lupa menandai pentingnya peristiwa, atau memulai hajat besar di Selasa yang istimewa. Dan akhirnya, Selasa pun rela, menjadi hari ketika malaikat maut menjemput Jenengan dengan sukacita.
Selasa itu, Panjenengan wafat memenuhi harapan diri, di Mekkah saat berhaji. Sempurna sudah apa yang Jenengan dambakan dari segi waktu, tempat, dan kondisi. Waktunya pada Selasa yang dianggap hari penyempurnaan bumi. Tempatnya di Mekkah yang berjuluk Tanah Suci. Kondisinya sedang menunaikan ibadah penyempurna keislaman hamba-Nya, yakni haji. Subhanallahi wa bi-hamdihi…
Mbah Moen,
Pada Selasa itu di pekuburan Ma’la, kami melepas Jenengan dengan sepenuh rela. Serela butiran debu yang beterbangan di antara batu-batu pengganti nisan tanpa nama, di pekuburan berusia ribuan tahun yang tersohor sejak lama. Kami melepas dengan tahlil dan doa bersambung-sambung dari para peziarah yang merupakan tamu-tamuNya. Dan, begitu tanah pasir telah menutupi liang lahat urutan ke-4 dalam barisan 151 di Kompleks 70, tinggallah doa Qurani yang oleh Gus Mus, kiai dan guru kami, diterjemahkan begitu indah sekali: Wahai jiwa yang tenang, selamat pulang, ke haribaan Tuhanmu Yang Maha Penyayang, bergabung bersama hamba-hambaNya yang disayang, masuk ke surgaNya yang lapang.
Beragam kata dapat menjelma, untuk melukiskan kenangan tentang Jenengan yang kaya makna. Maka, jelang hari ke-40 selepas Selasa itu, kami berkumpul di sini, malam ini, untuk menghimpun dan berbagi kata-kata. Semoga bukan sekadar kata biasa. Melainkan ujaran yang pernah kami dengar dari Jenengan, hikayat tentang Jenengan, juga kisah-kisah bersama Jenengan. Kami ingin mengenang Panjenengan sebagai Kiai Bangsa.
Di sini diluncurkan sebuah buku pustaka. Judulnya Selasa di Pekuburan Ma’la. Isinya juga kumpulan kata-kata. Rangkaian kata yang mengandung misi, menebar kebajikan yang diharap mampu memotivasi sekaligus menginspirasi. Buku itu himpunan deret kata yang tergabung dalam antologi puisi maknawi. Rupanya para penyair pun ingin kata-katanya ikut terbang mengangkasa. Dari berbagai perasan logika dan rasa, kata-kata itu mengejawantah menjelma doa-doa.
Aku turut mengamini kata-kata bermakna doa, di sini. Sebagaimana kuturut mengantar ke Ma’la, setelah memandikan, mengafani, dan mengecup kening Jenengan yang putih menyala, kala Selasa itu, di sana. Hampir 40 hari berlalu, tapi suatu Selasa di Pekuburan Ma’la itu, terasa masih baru.
Mbah Moen,
Wafat Jenengan adalah musibah kami. Tapi Jenengan pernah mengajarkan agar kami menjadikan sabar sebagai penolong ketika musibah datang. Kami berserah kepada Allah SWT atas takdir-Nya menjemput Jenengan, sebelum kami sempat lebih banyak lagi menimba ilmu. Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.
Mbah Moen,
Selamat jalan menuju surga sebagai tempat kembali.
Semoga teladan dan nasihat Jenengan dapat kami ikuti.
Semoga ilmu dan kearifan yang Jenengan ajarkan terus memandu kami..
Rembang, 12 September 2019
Lukman Hakim Saifuddin
One thought on “Puisi Menag di 40 Hari Meninggalnya Mbah Moen”