[JAKARTA, MASJIDUNA] — Lokalisasi Kramat Tunggak. Mendengar wilayah itu di era 70-an, 80-an dan 90-an terbayang lokasi hitam. Berbagai upaya mengubah lokasi tersebut akhirnya berbuah manis. Mengubah lokalisasi tersebut menjadi sebuah pusat peradaban Islam di Jakarta melalui cara yang tak mudah.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre) menggantikan tempat lokalisasi Kramat Tunggak, Tanjung Priok, Utara bagian Jakarta. Dahulu, Kramat tunggak menjadi Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak. Berdomisili di Jalan Kramat Jaya, Kelurahan Tugu Utara Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Sebagaimana dilansir duniamasjid.org, di atas lahan seluas 109.435 m2, setidaknya berdiri 9 rukun tetangga. Tak saja tenar di seantero Indonesia, namun ‘mashur’ di kawasan Asia Tengara. Ya, sebagai pusat ‘jajan’ bagi kaum hidung belang. Sekira 1970, di awal pembukaan kawasan tersebut, terdapat 300 pekerja tusa susila, serta 76 mucikari.
Angka itu terus mengalami penambagan jumlahnya. Di penghujun era 90-an, di mana bakal ditutup itu area, jumlahnya mencapai ribuan orang pekerja tuna susila. Begitu pula mucikari mencapai ratusan jumlahnya. Meroket tajam. Tentu saja, menjadi persoalan baru bagi kota Jakarta.
Kala itu, kondisi tersebut menimbulkan riak-riak desakan dari masyarakat dan kalangan ulama. Ya, agar PKSW Teratai Harapan Kramat Tunggak game over. Dinas Sosial menggandeng Universitas Indonesia kala itu melakukan riset.
Sekamir 1997, hasil penelitian itu pun direkomendasikan agar lokalisasi itu pun ditutup. Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta, No. 495/1998 tentang Penutupan Panti Sosial pun terbit. Isinya, agar lokalisaksi Kramat Tunggak paling lama ditutup dipenghujung Desember 1999.
Benar saja, tepat 31 Desember 1999, tempat maksiat itu pun resmi ditutup. Pemerintah Daerah DKI Jakarta pun putar otak. Berpikir keras soal mau diapakan itu lahan. Pendek kata, Pemda DKI Jakarta akhirnya membebaskan lahan eks lokalisasi Kramat Tunggak.
Gagasan pun berdatangan. Antara lain usulan pembangunan mall, perkantoran, dan lainnya. Berbeda dengan Gubernur DKI, Sutiyoso. Jenderal purnawirawan TNI itu pun menyodorkan gagasan pembangunan Islamic Centre.
Sutiyoso pun menyerap aspirasi dari berbagai elemen masyarakat untuk mengetahui respon atas gagasannya. Gayung bersambut. Dukungan publik kian menguat hingga 2001. Berbagai konsultasi dilakukan terus menerus oleh Sutiyoso kepada para pemangku kepentingan. Seperti masyarakat, ulama, kyai, praktisi.
Hingga akhirnya, Sutiyoso mewujudukan dalam sebuah masterplan pembangunan Jakarta Islamic Centre (JIC) pada 2002. Tak berhenti di situ, menyerap aspirasi dan studi banding terus dilakukan. Yakni melakukan studi banding ke Islamic Centre Mesin, Iran, Inggris, dan Perancis.
Nah untuk mewujudkan cita – cita besar kalangan muslim, digantungkan pada pundak JIC. Karena itulah Sutiyoso kala itu menerbitkan SK Gubernur KDKI No. 99/2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre).
Kali pertama digunakan sholat Jumat pada 6 September 2002 dihadiri Gubernur DKI Sutiyoso. Peresmian masjid ini sendiri dilaksanakan pada 4 September 2003 Sutiyoso. Pembangunannya menggunakan biaya pemerintah daerah DKI dan diatas tanah Pemprop DKI.
Pada 2004, Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamci Centre) diangkat/dilantik melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 651/2004. Di atas lahan itu pun dibangun Masjid JIC.
Kehadiran JIC tak saja mengubah lokasi ‘tanah hitam menjadi putih’ dengan sebuah masjid, namun juga menjadi simpul pusat peradaban Islam di Indonesia dan Asia Tenggara. Tentunya menjadi simbol kebangkintan Islam di dunia.
Tak ada ruginya bila anda bertandang ke wilayah Kramat Tunggak untuk sekedar bersujud di Masjid Jakarta Islamic Centre. Bahkan mungkin menghadiri kajian di masjid tersebut. Selamat menjajak…!!! [gzl]