Oleh: Dr. Izza Rohman, M.A. (Dosen Universitas Prof. Dr. Hamka/Uhamka, Jakarta/Pemerhati Sosial Keagamaan)
[BELMORE, SYDNEY, MASJIDUNA] — Rabu malam Kamis (27/3/24) saya mengikuti tarawih di Masjid Al-Azhar yang terletak di Belmore, suatu suburb dengan populasi muslim 13,3 persen (sensus 2021) yang terletak di sebelah Lakemba. Ini adalah salah satu masjid yang dikelola oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Association Australia (ASWJ Australia), suatu organisasi yang turut menyebarkan dakwah salafi di beberapa negara bagian di Australia, termasuk New South Wales.
Kegiatan dimulai pukul 8:15 malam, yang berarti sudah memasuki waktu isya’ menurut layar monitor jadwal shalat masjid ini. Namun, kegiatan tidak dimulai dengan azan isya, melainkan ceramah. Waktu isya’ sudah tiba tetapi malah ceramahnya baru dimulai. (Saya teringat momen ketika ditegur seorang jamaah yang baru datang untuk mengakhiri pengajian tafsir malam Jumat di Masjid At-Taqwa Kebayoran Baru karena waktu isya sudah tiba).
Ceramah berlangsung lima belas menit, dan disampaikan dalam bahasa Arab dan Inggris oleh seorang syekh dengan seorang penerjemah. Malam ini topiknya adalah pengantar bahasan tentang ayat-ayat yang paling memberi harapan (raja’, hope) dalam al-Qur’an. Baru pengantarnya karena akan dilanjutkan di malam berikutnya.
Ceramahnya (dan juga kegiatan shalatnya) disiarkan secara langsung di akun Facebok masjid, bahkan juga disiarkan oleh Albayan Radio. Jadi, jamaah yang belum tiba di masjid, atau tidak hadir di masjid, masih bisa ikut menimba ilmu juga.
Di Masjid Al-Azhar, ini adalah malam ke-17, karena ASWJ Australia mendasarkan penentuan awal Ramadan pada rukyatul hilal lokal dan regional (Australia dan negara-negara tetangga). Malam ke-17 biasa diperingati oleh sebagian muslimin sebagai malam nuzulul Qur’an atau lailatul badr. Namun, di sini tidak ada peringatan nuzulul Qur’an. Sebatas pembahasannya pun tidak.
Setelah ceramah, baru dikumandangkan azan isya. Selesai azan dua menitan langsung iqamat. Shalat isya berlangsung dalam 10 menit. Setelah ada kesempatan shalat bakdiyah, tarawih dilangsungkan dalam 8 rakaat dengan salam setiap dua rakaat. Lamanya 27 menit. Langsung dilanjut witir tiga rakaat dengan dua kali salam. Lamanya 13 menit, tapi yang 10 menit untuk satu rakaat terakhir dengan qunut yang panjang, yang juga terselip doa untuk kaum muslimin yang tertindas di Syam, di Palestina, dan terlebih di Gaza.
Jadi di sini formasi rakaat 2+2+2+2+2+1 diselesaikan dalam 40 menit. Tanpa bebacaan di luar shalat, selain setelah witir imam dan beberapa jamaah sedikit mengeraskan bacaan: Subhanal-malikil-quddus (2x) rabbil mala’ikati war-ruh.
Tarawih terasa lebih singkat karena bagusnya bacaan imam. Suaranya jernih dan merdu, mirip suara Syekh Sa’ad al-Ghamidi. Malam ini, ia bacakan secara tartil surah an-Nahl hingga ayat 11 saat isya, dan dilanjut hingga ayat 46 saat tarawih. Saat witir, ia membacakan surah al-A’la, al-Kafirun, dan al-Ikhlash.
Dengan durasi tarawih yang relatif singkat dan imam yang bacaannya merdu, pantas saja masjid kecil ini dipadati jamaah hingga digelar tikar di luar — sekalipun masjid ini tidak persis di tengah-tengah permukiman muslim. Jamaahnya pun terlihat sangat beragam meski didominasi warga berwajah Arab. [RAN/Foto: DokPri]