[JAKARTA, MASJIDUNA]—Kata “Mukimin Jawi” tidak banyak dikenal untuk saat ini. Padahal, pada abad 16 hingga 19, kata ini dikenal sebagai sebutan bagi orang ras Melayu yang menetap di Mekah dan Madinah untuk berhaji dan menuntut ilmu.
Tidak ada catatan pasti sejak kapan para mukimin ini datang dan menetap di dua kota suci itu. Catatan tertua ditulis oleh Lodivico de Varthema, pengembara asal Italia yang berhasil masuk ke Mekah. Dia mencatat bahwa pada abad pada tahun 1502 sudah banyak orang Melayu di Mekah untuk tujuan berhaji dan berdagang kecil-kecilan.
Catatan lain datang dari Christiaan Snouck Hurgronje, yang juga datang ke Mekah dan mencatat aktivitas “Mukimin Jawi” lebih khusus yang berasal dari nusantara. Hurgronje, yang lama menetap di Aceh itu, menggambarkan biasanya orang nusantara membuat koloni. Misalnya, dari Lamongan tinggal di daerah Jabal Abu Qubais yang terletak dekat Masjidil Haram.
Salah satu ciri orang yang berasal dari Nusantara menggunakan nama belakang asal daerah seperti as-Singkili (Singkel, al-Minangkabawi (Minangkabau), al-Palimbani (Palembang), al-Bantani (Banten), at-Tarmisi (Termas), al-Banjari (Banjar), as-Sundawi (Sundawi) dan lain-lain.
Para era inilah para ulama nusantara menuntut ilmu dan ketika pulang ke tanah air menyebarkan ilmu yang mereka dapat. Dua orang tokoh yang pernah jadi “Mukimin Jawi” adalah KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU).
Ciri lain para “Mukimin Jawi” adalah sikap tawaduk dan dapat dipercaya. Beberapa dari “Mukimin Jawi” bekerja di rumah-rumah para mukimin lain atau menjadi petugas haji bila musim haji tiba.
Menurut Hurgronje, tidak semua “Mukimin Jawi” yang pulang ke tanah air jadi ulama yang memiliki pesantren. Ada juga yang menjadi pedagang yang berhasil.
Ketika gelora Pan Islamisma bergerak di negara-mgera Islam, kelompok “Mukimin Jawi” ini punya peran strategis. Merekalah yang membawa pemikiran pembebasan dari jajahan, setelah bersentuhan dengan ide-ide Pan Islamisme. Mereka juga yang membawa majalah-majalah Islam yang isinya ajakan untuk melawan penjajahan. Hal inilah yang membuat pemerintah kolonial Belanda kewalahan dan pernah mengawasi orang yang pulang berhaji dan yang akan pergi haji.
“Mukimin Jawi” saat ini tidak lagi dikenal, namun kiprahnya sangat besar bagi Indonesia.
(IMF/foto: alihram.co)