Catatan MUI Soal Halal dalam RUU Ciptaker

[JAKARTA, MASJIDUNA]—Majelis Ulama Indonesia (MUI) punya kewajiban memberikan pandangan terhadap Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Sebab, dalam RUU tersebut diatur soal pengaturan halal.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhyiddin Junaidi menyampaikan bahwa pandangan MUI ini karena RUU Cipta Kerja juga memuat pengaturan yang terkait erat dengan ajaran Islam dan kepentingan umat Islam, seperti dalam materi pengaturan halal, perizinan halal terhadap UMKM, dan perbankan syariah.

Khusus terkait perizinan halal, Kiai Muhyiddin mengingatkan kepada pemerintah lebih berhati-hati karena, jika halal menjadi bagian dari sektor perizinan maka di samping RUU ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip agama, juga hal ini menjadi imperatif yang mengikat pelaku usaha dan dapat menjadi beban bagi pelaku usaha.

“Khusus terkait perizinan halal agar lebih hati-hati dan dipertimbangkan secara seksama,” ujar Kiai Muhyiddin dalam keterangan tertulis Rabu (8/7/2020).

Menurut dia, hal ini menjadikan kontraproduktif dengan semangat RUU Cipta Kerja untuk penyederhanaan perizinan berusaha. Karena itu, halal seharusnya dikeluarkan dari sistem perizinan usaha dan dikembalikan kepada ruhnya yaitu hukum agama Islam.

Selain itu, dia juga menyampaikan bahwa setelah sertifikasi halal menjadi mandatory (kewajiban) sesungguhnya negara telah hadir dalam memberikan perlindungan bagi pelaku usaha dan warga negara untuk terciptanya kepastian mengenai sistem jaminan halal, sehingga pelaku usaha dan masyarakat terlindungi masing-masing kepentingannya secara bersamaan.

“Halal merupakan bagian integral ajaran Islam dan keyakinan yang harus dipatuhi dan ditunaikan oleh setiap umat Islam,” ucapnya.

Karena itu, pengaturan tentang halal dalam RUU Cipta Kerja hendaknya bukan semata-mata diletakkan pada kepentingan dan motif ekonomi atau investasi, serta mengabaikan prinsip-prinsip keagamaan, misalnya dengan adanya pasal di dalam RUU yang membuka peluang ditetapkannya kehalalan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak memiliki otoritas keagamaan Islam.

(IMF/foto:hidayatulah.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *