[JAKARTA, MASJIDUNA]—Bagi umat Islam, ideologi Pancasila merupakan “kalimatun sawa” alias titik temu yang disepakti para pendiri bangsa.
Karena itu, kehadiran Pancasila tidak bisa dipilah-pilah. Proses yang dimulai sejak Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan rumusan final yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Secara historis, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah hasil dari moderasi aspirasi Islam dan Kebangsaan.
“Dengan rumusan final Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia tidak menjelma sebagai negara Islam, juga bukan negara sekuler, tetapi negara nasionalis-religius, “demikian bunyi pernyataan sikap PBNU menyikapi polemik Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Negara (HIP), Selasa (16/6/2020), yang ditandatangani oleh Ketua PBNU KH Said Agil Siradj dan Seketaris Helmi Faisal Zaini.
PBNU lebih jauh bahkan mengeritik pihak-pihak yang berupaya memperluas dan mempersempit tafsir atas Pancasila. Upaya ini disebut sebagai “Pancasila yang terlalu ambisius”. Hal ini tidak tepat, sebab akan menghilangkan roh pancasila sebagai ideologi pemersatu.
Lebih lanjuta, PBNU menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut:
- Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945.
- RUU HIP dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut oleh founding fathers bisa koyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang polemis.
- Tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus. Pancasila sebagai Philosophische Grondslag dan Staatsfundamentalnorm merupakan pedoman yang mendasari platform pembangunan nasional. Jika dirasakan ada masalah mendasar terkait pembangunan nasional di bidang demokrasi politik Pancasila, maka jalan keluarnya adalah reformasi paket undang-undang bidang politik (legislative review). Begitu pula jika ada masalah terkait dengan haluan pembangunan ekonomi nasional, yang dirasakan menyimpang dari jiwa demokrasi ekonomi Pancasila, maka yang perlu dipersiapkan adalah RUU Sistem Perekonomian Nasional sebagai undang-undang payung (umbrella act) yang secara jelas dimandatkan oleh Pasal 33 ayat (5) UUD 1945.
- Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Indonesia tidak perlu menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional.
- Sebaiknya proses legislasi RUU HIP dihentikan dan seluruh komponen bangsa memusatkan energinya untuk keluar dari pandemi dan berjuang memulihkan perekonomian nasional.
(IMF/foto:PBNU)